Musim haji tahun ini memang berbeda. Kita tentu bersedih dengan musibah yang menimpa saudara kita yang sedang berhaji, baik musibah jatuhnya alat crane di masjidil Haram, maupun musibah berdesak-desakkan jamaah haji di Mina saat akan melempar jamarot, hingga menyebabkan korban wafat mencapai angka seribuan. Namun di luar itu semua, kita tetap harus bersyukur karena seluruh rangkaian ibadah haji di tanah suci Mekkah telah selesai. Saat ini sebagian jamaah haji telah mulai pulang ke negeri masing-masing, kita pun di tanah air tengah menanti-nanti kehadiran saudara-saudara kita jamaah haji yang insya Allah mendapatkan haji mabrur.
Menjadi haji mabrur tentu menjadi idaman setiap muslim, karena keutamaannya yang jelas disebutkan oleh Rasulullah SAW : “Dan haji mabrur tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga.” (HR. Bukhari dan Muslim). Yang kemudian harus menjadi pertanyaan kita semua adalah, bagaimanakah sesungguhnya hakikat dan ciri haji yang mabrur. Pertanyaan ini menjadi penting mengingat sebagian ulama mendefinisikan haji mabrur adalah : haji yang buahnya tampak pada pelakunya dengan indikasi keadaannya setelah berhaji jauh lebih baik sebelum ia berhaji. Lalu apa sajakah buah dari haji mabrur tersebut ?
Pertama : Meningkatnya Ketaatan kepada Allah SWT
Seluruh rangkaian ibadah haji mengajarkan kita untuk lebih mengenal keagungan Allah SWT. Dalam setiap ibadah yang disyariatkan di dalamnya, dari mulai Thowaf, Sai, Wukuf, semuanya dihiasi dengan mengingat dan menyebut Allah SWT. Bahkan juga dalam aktifitas kegiatan sehari-hari di musim haji, para jamaah bersemangat dan berlomba-lomba untuk menunaikan sholat jamaah di Masjidil harom, memperbanyak dzikir dan beritikaf di dalamnya. Karenanya, seorang yang telah selesai haji diharapkan untuk terus bisa meneruskan kebiasan-kebiasaan baik, meningkatkan kedekatan dirinya kepada Allah SWT, salah satu indikasinya dengan mempebanyak dzikrullah dalam kesehariannya. Allah SWT berfirman :
“Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut nenek moyangmu, atau berzikirlah lebih banyak dari itu. ”(QS. Al-Baqarah 200).
Kedua : Menjaga Hubungan Baik pada Sesama
Dalam rangkaian ibadah haji, kita diminta menjauhi segala bentuk permusuhan, perdebatan, dan ucapan kotor tanpa arah dan makna. Firman Allah SWT :
“Haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji maka tidak boleh rafats, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. (QS. Al-Baqarah 197).
Bahkan Rasulullah SAW juga menegaskan lebih jauh pahala haji mereka yang meninggalkan hal-hal rendah tersebut melalui sabdanya : “Siapa yang berhaji ke Ka’bah lalu tidak berkata-kata kotor dan tidak berbuat kefasikan maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari). Karena itulah, seorang yang telah selesai berhaji, untuk menjaga kemabrurannya sudah semestinya juga ia menjaga akhlak dan hubungannya antar sesama manusia. Jika saat musim haji ia mampu mengontrol emosi dan berkata lembut, maka ketika pulang ke tanah air jangan sampai ternoda kemabrurannya dengan permusuhan-permusuhan yang muncul dengan orang-orang disekitarnya.
Akhirnya, marilah kita berharap kehadiran saudara-saudara kita para haji-haji mabrur ini akan menambah suasana dan keteladanan Islami di lingkungan masyarakat kita. Kita akan berlomba-lomba menyambut mereka dengan sepenuh harapan dan doa, bahwa mereka akan terus bisa menjaga kemabruran hajinya, dan kita pun bisa meneladani kebaikan-kebaikan yang mereka pancarkan sepulangnya dari tanah suci. Semoga Allah SWT memberikan kemudahan dan keberkahan.
*artikel dimuat dalam Rubrik Tausiyah Suara Solo Jumat 2 Oktober 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar