Jika kita mau sedikit meluangkan waktu untuk mencari informasi seputar data dan angka perceraian di Indonesia, maka akan dengan mudah kita jumpai data dan analisa yang cukup memprihatinkan. Diantaranya :
Saya ingin sedikit fokus tentang point terakhir, dimana yang terbesar kasus perceraian berawal dari gugatan pihak istri ke pengadilan agama. Ada apakah dengan para ibu-ibu dan wanita Indonesia ? Kalau kita melihat dalam analisa lainnya tentang alasan dan penyebab perceraian di Indonesia, memang bisa dipahami mengapa ibu-ibu lebih banyak yang memulai gugat cerai ini.
Sebab pertama, terkait ekonomi. Yaitu kondisi dimana para suami tidak bisa memberikan nafkah kepada sang istri dan keluarga. Mungkin gambarannya kurang lebih sang suami bermalas-malasan kerja atau nganggur, di rumah nyuruh-nyuruh seperti majikan, lalu malam minta dilayani. Belum lagi kondisi itu ditambah istri yang malah bekerja pagi sd sore memeras keringat dan membanting tulang. Klop sudah, akhirnya para istri berontak dan mengajukan gugat cerai.
Sebab kedua sebenarnya juga tidak terpaut jauh dari masalah ekonomi. Namun kebalikannya, kali ini saat kondisi ekonomi sudah mapan, sang suami mulai melirik sana-sini dan berpikir untuk selingkuh atau membuka cabang baru yang syar’I (baca:poligami). Kecenderungan inilah yang kemudian memulai permasalahan dan mengundang ketidakharmonisan, bahkan sampai ada benar-benar terjadi perselingkuhan. Karena itulah, kemudian sang istri pun segera meluncur ke pengadilan agama untuk mendaftarkan gugat cerai.
Lalu apakah hanya dua alasan di atas yang menjadikan gugat cerai di Indonesia sampai mencapai angka 70% dan bahkan di beberapa daerah 80% ?. Saya kira tidak, ada faktor lainnya yang sebenarnya teknis tapi cukup berpengaruh untuk menjadikan angka gugat cerai dari pihak istri begitu istri. Apa faktor lain yang berpengaruh itu ?
Faktor teknis tapi berpengaruh itu adalah karena tradisi pemberian mahar di Indonesia yang terkenal murah meriah, jauh berbeda dengan kondisi kebiasaan di Arab Saudi dan negara-negara timur tengah lainnya. Mahar di Indonesia biasanya bersifat historis simbolis dan sedikit romantis. Misalnya mahar berupa mushaf Al-Quran dan seperangkat alat sholat untuk menunjukkan status lebih islami. Ada juga mahar berupa uang dengan jumlah yang tidak terlalu fantastis tapi menunjukkan angka-angka cantik sebagi tanda tanggal pernikahan, atau malah berupa koin recehan yang disusun rapi jadi bentuk masjid, tapi nilainya tak seberapa, hanya simbolis romantis saja.
Sementara mahar di negara Timur Tengah biasanya berupa rumah dan perlengkapannya, kebun, mobil dan hal-hal lainnya yang kadang memang bersifat bombastis. Ini wilayah perbedaan tradisi, karena mahar secara syariat memang relatif lebih fleksibel, diminta untuk dimudahkan, tapi juga tidak ada batasan maksimal.
Lalu apa kaitannya dengan banyaknya kasus gugat cerai di Indonesia ? Dalam fikih, gugat cerai yang diajukan istri adalah sama dengan khulu’, dimana salah satu syarat dan aturannya adalah kewajiban mengembalikan mahar atau yang setara mahar kepada suami sebagai ‘tebusan’.
Nah jika dipahami dengan logika sederhana, saat ada permasalahan yang memuncak dalam keluarga, para istri di Indonesia tidak perlu memperhitungkan faktor “mahar” karena sudah murah meriah dari sononya, maka tidak harus berfikir panjang saat mengajukan gugat cerai. Mereka akan berfikir kalau Cuma mengembalikan “rukuh dan sajadah” bukan masalah yang besar, dan akan siap setiap saat.
Sebaliknya saat mahar jumlahnya cukup besar, jika ada permasalahan keluarga yang memuncak, istri sempat berpikir akan melakukan gugat cerai, lalu teringat ada mahar sejumlah besar yang harus ia kembalikan, seperti sertifikat rumah tanah dan seisinya, maka bisa jadi pikiran ‘gugat cerai’ itu akan ia fikir ulang lebih dalam dan mungkin malah dibatalkan.
Dengan demikian, kebiasaan jumlah mahar di Indonesia yang murah meriah cukup berpengaruh dalam menciptakan angka gugat cerai yang begitu besar di Indonesia. Disadari atau tidak ternyata besaran mahar bisa menjadi semacam ‘investasi’ untuk sebuah ketahanan keluarga. Maka terakhir, angka besarnya gugat cerai di Indonesia bisa menjadi semacam ‘warning’ buat para suami, untuk segera meningkatkan “saldo” mahar yang diberikan kepada istri, sebagai bentuk penguatan benteng pertahanan keluarga.
Lalu apakah meningkatkan ‘saldo’ mahar pernikahan secara syariat bisa dilakukan ? Jawabnya adalah bisa, sebagaimana disebutkan dalam banyak fatwa ulama, salah satunya adalah dalam kitab ٍSyarkh Mukthasor al-Kholil , AlKhurosy mengatakan : Jika seorang suami menambahkan (besaran) mahar untuk istrinya setelah akad dan menyatakan (tambahan) itu adalah bagian mahar, maka tambahan tersebut menjadi bagian mahar dan berlaku hukum mahar.
Nah, sekarang pilihan terbuka di hadapan para suami .. sebagai bentuk investasi ketahanan keluarga Anda puluhan tahun ke depan, anda boleh pilih : mau menambah “saham” mahar pernikahan, atau cukup dengan menambah uang belanja, uang baju, uang salon, dan uang jalan-jalan buat sang istri tercinta? Anda lebih tahu jawabannya.
Sekian, semoga bermanfaat dan salam optimis
- Tingkat perceraian di Indonesia menempati urutan tertinggi di Asia Pasifik (BKKBN-2013),
- Angka perceraian di Indonesia mencapai 10% pertahun dan terus meningkat, diantaranya data tahun 2010 saja dari 2 juta orang nikah setiap tahun se-Indonesia, maka ada 285.184 perkara yang berakhir dengan percerain per tahun se-Indonesia. (Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama RI, 2010)
- Dari total kasus perceraian, sebanyak 70 % perceraian terjadi karena gugat cerai dari pihak istri. (Wakil Menteri Agama RI Prof Dr. Nasaruddin Umar (2013),
Saya ingin sedikit fokus tentang point terakhir, dimana yang terbesar kasus perceraian berawal dari gugatan pihak istri ke pengadilan agama. Ada apakah dengan para ibu-ibu dan wanita Indonesia ? Kalau kita melihat dalam analisa lainnya tentang alasan dan penyebab perceraian di Indonesia, memang bisa dipahami mengapa ibu-ibu lebih banyak yang memulai gugat cerai ini.
Sebab pertama, terkait ekonomi. Yaitu kondisi dimana para suami tidak bisa memberikan nafkah kepada sang istri dan keluarga. Mungkin gambarannya kurang lebih sang suami bermalas-malasan kerja atau nganggur, di rumah nyuruh-nyuruh seperti majikan, lalu malam minta dilayani. Belum lagi kondisi itu ditambah istri yang malah bekerja pagi sd sore memeras keringat dan membanting tulang. Klop sudah, akhirnya para istri berontak dan mengajukan gugat cerai.
Sebab kedua sebenarnya juga tidak terpaut jauh dari masalah ekonomi. Namun kebalikannya, kali ini saat kondisi ekonomi sudah mapan, sang suami mulai melirik sana-sini dan berpikir untuk selingkuh atau membuka cabang baru yang syar’I (baca:poligami). Kecenderungan inilah yang kemudian memulai permasalahan dan mengundang ketidakharmonisan, bahkan sampai ada benar-benar terjadi perselingkuhan. Karena itulah, kemudian sang istri pun segera meluncur ke pengadilan agama untuk mendaftarkan gugat cerai.
Lalu apakah hanya dua alasan di atas yang menjadikan gugat cerai di Indonesia sampai mencapai angka 70% dan bahkan di beberapa daerah 80% ?. Saya kira tidak, ada faktor lainnya yang sebenarnya teknis tapi cukup berpengaruh untuk menjadikan angka gugat cerai dari pihak istri begitu istri. Apa faktor lain yang berpengaruh itu ?
Faktor teknis tapi berpengaruh itu adalah karena tradisi pemberian mahar di Indonesia yang terkenal murah meriah, jauh berbeda dengan kondisi kebiasaan di Arab Saudi dan negara-negara timur tengah lainnya. Mahar di Indonesia biasanya bersifat historis simbolis dan sedikit romantis. Misalnya mahar berupa mushaf Al-Quran dan seperangkat alat sholat untuk menunjukkan status lebih islami. Ada juga mahar berupa uang dengan jumlah yang tidak terlalu fantastis tapi menunjukkan angka-angka cantik sebagi tanda tanggal pernikahan, atau malah berupa koin recehan yang disusun rapi jadi bentuk masjid, tapi nilainya tak seberapa, hanya simbolis romantis saja.
Sementara mahar di negara Timur Tengah biasanya berupa rumah dan perlengkapannya, kebun, mobil dan hal-hal lainnya yang kadang memang bersifat bombastis. Ini wilayah perbedaan tradisi, karena mahar secara syariat memang relatif lebih fleksibel, diminta untuk dimudahkan, tapi juga tidak ada batasan maksimal.
Lalu apa kaitannya dengan banyaknya kasus gugat cerai di Indonesia ? Dalam fikih, gugat cerai yang diajukan istri adalah sama dengan khulu’, dimana salah satu syarat dan aturannya adalah kewajiban mengembalikan mahar atau yang setara mahar kepada suami sebagai ‘tebusan’.
Nah jika dipahami dengan logika sederhana, saat ada permasalahan yang memuncak dalam keluarga, para istri di Indonesia tidak perlu memperhitungkan faktor “mahar” karena sudah murah meriah dari sononya, maka tidak harus berfikir panjang saat mengajukan gugat cerai. Mereka akan berfikir kalau Cuma mengembalikan “rukuh dan sajadah” bukan masalah yang besar, dan akan siap setiap saat.
Sebaliknya saat mahar jumlahnya cukup besar, jika ada permasalahan keluarga yang memuncak, istri sempat berpikir akan melakukan gugat cerai, lalu teringat ada mahar sejumlah besar yang harus ia kembalikan, seperti sertifikat rumah tanah dan seisinya, maka bisa jadi pikiran ‘gugat cerai’ itu akan ia fikir ulang lebih dalam dan mungkin malah dibatalkan.
Dengan demikian, kebiasaan jumlah mahar di Indonesia yang murah meriah cukup berpengaruh dalam menciptakan angka gugat cerai yang begitu besar di Indonesia. Disadari atau tidak ternyata besaran mahar bisa menjadi semacam ‘investasi’ untuk sebuah ketahanan keluarga. Maka terakhir, angka besarnya gugat cerai di Indonesia bisa menjadi semacam ‘warning’ buat para suami, untuk segera meningkatkan “saldo” mahar yang diberikan kepada istri, sebagai bentuk penguatan benteng pertahanan keluarga.
Lalu apakah meningkatkan ‘saldo’ mahar pernikahan secara syariat bisa dilakukan ? Jawabnya adalah bisa, sebagaimana disebutkan dalam banyak fatwa ulama, salah satunya adalah dalam kitab ٍSyarkh Mukthasor al-Kholil , AlKhurosy mengatakan : Jika seorang suami menambahkan (besaran) mahar untuk istrinya setelah akad dan menyatakan (tambahan) itu adalah bagian mahar, maka tambahan tersebut menjadi bagian mahar dan berlaku hukum mahar.
Nah, sekarang pilihan terbuka di hadapan para suami .. sebagai bentuk investasi ketahanan keluarga Anda puluhan tahun ke depan, anda boleh pilih : mau menambah “saham” mahar pernikahan, atau cukup dengan menambah uang belanja, uang baju, uang salon, dan uang jalan-jalan buat sang istri tercinta? Anda lebih tahu jawabannya.
Sekian, semoga bermanfaat dan salam optimis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar