ilustrasi pemimpin sederhana : Ismail Haniyya |
Kesederhanaan Rasulullah SAW sebagai Pemimpin
Kisah ini terjadi saat persiapan keberangkatan pasukan
muslimin dalam perang Badar. Kita semua sama tahu, peperangan Badar adalah
peperangan besar pertama kali yang dihadapi kaum muslimin di Madinah, melawan
kaum kafir Qurays di Mekkah. Bahkan rencana awal peperangan yang berupa operasi
penyergapan kafilah dagang Abu Sufyan, berubah menjadi berhadap-hadapan dengan
pasukan besar kaum kafir Qurays, yang berjumlah 1300 pasukan dengan kelengkapan
perang dan logistik yang berlipat-lipat.
Sungguh berbeda dengan kondisi pasukan muslim, yang hanya
membawa sekitar 300-an prajurit lebih sedikit, yang bukan hanya minim secara
jumlah, namun juga peralatan, sarana pengangkutan perang. Hanya ada sekian unta
dan sedikit kuda yang tentu saja masih jauh sangat kurang dari jumlah yang
semestinya diharapkan. Belum lagi medan perang Badar yang terpampang cukup jauh
dari Madinah sekitar 230 km, dengan cuaca panas yang bisa melumerkan semangat
orang-orang kebanyakan.
Namun tentu hal tersebut tidak berlaku bagi kaum Anshor dan
Muhajirin, yang sejak awal telah melekat kuat semangat terpatri dalam dada,
ikut bersama Rasulullah SAW kemanapun menyongsong surga. Mereka tak sudi
disamakan dengan Bani Israil pengikut nabi Musa as, yang dengan penuh
kesombongan dan kemalasan berteriak kepada pemimpin sekaligus nabi-nya : "
pergilah Anda dan Tuhan Anda untuk berperang, sungguh kami disini saja duduk-duduk menunggu
"(QS Al Maidah 24). Karenanya,
meskipun sedikit perbekalan dan minimnya kendaraan, merekapun tetap teguh
melanjutkan perjalanan.
Untuk efektifitas keberangkatan pasukan, maka kemudian
dibagilah kendaraan yang ada, dimana seekor onta untuk jatah tiga sampai empat
orang, untuk ditunggangi bergantian, sementara yang lainnya berjalan kaki.
Tentu saja seekor unta tidak bisa dipaksakan untuk dinaiki tiga atau empat
orang sekaligus, maka pembagian giliran berupa dua orang naik onta, dan satu
orang berjalan. Begitu bergantian seterusnya hingga sampai di tujuan.
Saat pembagian tersebut, tercatat Rasulullah SAW ikut dalam
rombongan pembagian unta bersama Ali bin Abi Tholib dan Abu Lubabah. Kita
berhenti sejenak di sini. Ini bukan hal yang biasa dan sederhana, apalagi
dilihat dari logika dan kepemimpinan yang terserak hari ini. Rasulullah SAW
tidak melihat dirinya sebagainya pemimpin besar yang harus disediakan fasilitas
berlimpah nan berbeda. Jangan bayangkan pesawat kepresidenan atau air force
one, bahkan untuk tunggangan seekor unta nan bersahaja pun beliau siap berbagi.
Dalam logika sederhana kita, bisa saja beliau meminta jatah satu unta yang
terkuat nan hebat, dan tidak ikut dalam pembagian pasukan. Namun beliau tidak
melakukannya, karena kondisi kekurangan yang ada pada waktu itu salah satunya.
Memang dalam perkembangan zaman berikutnya, saat kaum muslimin telah berkembang
dari semua sisinya, termasuk perekonomian dan perlengkapan perangnya, beliau
memang memiliki kuda nan gagah yang dijuluki dengan al-qoshwa.
Apa yang terjadi kemudian saat perjalanan pasukan sepanjang
230 km itu mulai bergerak. Saat tiba giliran Rasulullah SAW untuk berjalan
kaki, maka dengan serta merta Abu Lubabah dan Ali bin Abi Tholib berebutan
menawarkan diri untuk menggantikan Rasulullah SAW dalam berjalan kaki. Keduanya
tak rela dan segan jika harus naik unta sementara pemimpin dan nabi mereka
berjalan disamping. Lalu apa jawab Rasulullah SAW melihat dua sahabat mudanya
bersemangat menggantikan dirinya berjalan kaki ? Sejarah mencatat jawaban
sederhana beliau penuh keakraban : " Kalian berdua ini belum tentu
lebih kuat dari diriku, dan aku juga masih butuh pahala sebagaimana kalian
berdua ". Bisa kita bayangkan, di saat usia beliau menapaki 55
tahunan, sementara Ali bin Abi Tholib berusia 38 tahun jauh lebih muda, tak
terbersit dalam pikiran beliau untuk memanfaatkan ketulusan sang prajurit.
Pemimpin yang tidak ingin berlimpah dalam fasilitas, dan
juga ingin merasakan apa yang dirasakan oleh rakyatnya, tidak tenggelam dalam
lautan harta dan fasilitas kemudahan yang memabukkan. Kita tentu semua
merindukannya. Kita mulai dari diri kita, dengan mengambil inspirasi dari
sekelumit kisah kepemimpinan Rasulullah SAW di atas.
Kesederhanaan dalam Keseharian
Jika dalam hal kepemimpinan pun beliu menunjukkan inspirasi
kesederhanaan yang luar biasa, begitu pula dalam kehidupan sehari-hari yang
bersahaja. Dimulai dari hal yang paling mendasar, yaitu bagaimana rumah tempat
beliau tinggal. Rumah Rasulullah SAW bukanlah bak istana raja yang bergelimang
dekorasi mewah disana-sini, berbahan marmer atau keramik nan mahal, ditambah
dengan luas dan banyaknya ruangan berlimpah. Namun rumah yang beliau tinggali
panjangnya tidak lebih dari 5 meter dan lebarnya 3 meter, serta tinggi atap
sekitar 2,5 meter. Rumah mungil nan sederhana itupun hanya terbuat dari bahan
sederhana, dari pelepah kurma yang berbalut serabut, demikian dituliskan dalam
kitab Shohih Adabul Mufrod.
Untuk urusan perabot rumah tangga Rasulullah SAW juga
mencontohkan kesederhanaan yang luar biasa, termasuk tempat tidur yang
sehari-hari beliau gunakan untuk beristirahat menyandarkan punggung. Ibnu Masud
pernah berkisah tentang kondisi tempat tidur Rasulullah SAW yang hanya
beralaskan tikar kasar, ia berkata :
“Saya menemui Rasulullah SAW, saat itu beliau sedang tidur di atas tikar
yang membekas pada pinggangnya, saya menangis”. Beliau berkata, “Apa yang
menjadikanmu menangis ?” saya berkata, “Raja Kisro dan Qoisar tidur diatas kain
sutra sedang engkau tidur diatas tikar”. Kemudian beliau bersabda, “Perumpamaanku
dan dunia ini adalah tidak lain seperti pengendara yang berlindung di bawah
pohon kemudian dia meninggalkannya”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah) .
Beliau memberikan alasan mengapa beliau memilih tikar kasar
sebagai alas tidur, sebagaimana juga beliau memilih banyak kesederhanaan dalam
kehidupannya, yaitu karena sesungguhnya beliau tidak memandang dunia kecuali
dengan pandangan asing, hanya sementara dan segera akan meninggalkannya. Tidak
menjadikan dunia sebagai objek kenikmatan apalagi tujuan, namun hanya sebagai
ladang amal menuju hari akhirat yang lebih kekal abadi nan menjanjikan.
Bahkan dalam riwayat lain Rasulullah SAW punya alasan lain
mengapa menjauhi fasilitas dan kenyamanan, bahkan dalam urusan istirahat. Hafshah,
istri beliau suatu ketika ditanya, “Apa yang menjadi tempat tidur Rasulullah
SAW?” Ia menjawab, “Kain dari bulu yang kami lipat dua. Di atas itulah Rasulullah SAW tidur. Kemudian, Hafsah
berinisiatif pada suatu malam melipat kain tersebut menjadi empat lapis, agar
terasa lebih empuk bagi Rasulullah SAW. Ternyata saat shubuh menjelang,
Rasulullah SAW bertanya kepada Hafshah : “Apa yang engkau hamparkan sebagai
tempat tidurku semalam?” . Hafshoh pun menjawab dengan jujur dan alasan ia
melipat kain menjadi empat lipatan. Ternyata Rasulullah SAW kurang senang dan
mengatakan : “Kembalikan kepada asalnya! Sungguh, disebabkan empuknya, aku
terhalang dari shalat di malam hari.” (HR At-Tirmidzi). Beliau tidak ingin
kenyamanan justru akan menjauhkannya dari semangat beribadah kepada Allah SWT.
Satu hal yang barangkali sering menjadikan kita malas beribadah tanpa kita
sadari, yaitu kenyamanan dan juga kekenyangan.
Dalam urusan makan sehari-hari, cukuplah kesaksian Aisyah
mengingatkan kita tentang betapa bersahajanya beliau dalam urusan ini. Dari
sisi ketersediaan makanan, di rumah beliau ternyata tidak setiap saat tersedia
makanan. Aisyah Ra berkata, “Kadangkala sebulan kami tidak menyalakan api di
dapur. Kami hanya makan kurma dan air saja kecuali jika ada seseorang yang
menghadiahkan sedikit daging kepada kami” [HR Bukhari]. Jika ada seorang
sahabat yang menghadiahkan makanan, maka beliau terkadang justru mengundang
sahabat lainnya, terutama para ahlu suffah untuk bersama-sama menikmatinya.
Soal menu makanan sehari-hari, beliau tidak pernah rewel dengan selera
lidahnya. Beliau tidak pernah mencela makanan sama sekali, jia ia suka maka
beliau memakannya, dan jika tidak suka beliau meninggalkannya.
Adapun sebagai suami dan kepala rumah tangga dalam
keseharian, Rasulullah SAW juga memberikan contoh kepada kita tentang
kesederhanaan, apa adanya, siap menjalani apa adanya pekerjaan rumah, tanpa
ongkang-ongkang kaki menyuruh sana-sini. Segala hal yang bisa beliau lakukan,
beliau pun melakukannya dengan sepenuh suka cita. Istri beliau Aisyah Ra
menceritakan kondisi beliau di rumahnya, “Rasulullah menjahit bajunya,
sendalnya dan melakukan apa yang selayaknya dikerjakan para lelaki di rumahnya”
(HR. Ahmad ). Dalam riwayat yang lain Aisyah Ra semakin menegaskan “Beliau
adalah manusia selayaknya manusia biasa, beliau membersihkan kotoran yang
menempel pada bajunya, memerah susu dan mengurus dirinya sendiri”.
Banyak sudah episode kesederhanaan dalam kehidupan Rasulullah
SAW, baik sebagai pemimpin umat maupun sebagai individu di rumahnya. Kita umat
yang mencintai beliau, tidak punya banyak alasan kecuali berusaha untuk
meneladani beliau dalam segala hal, termasuk dalam urusan kesederhanaan.
Bukankah Allah SWT telah berfirman : “Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”.
(QS. al-Ahzab: 21). Wallahu a’lam bisshowab
INDOMONOPOLY.COM MERUPAKAN SITUS JUDI ONLINE YANG TERBAIK & TERPERCAYA DI INDONESIA.
BalasHapusKAMI MENYEDIAKAN GAME TERBARU MONOPOLY YANG TELAH TERPERCAYA OLEH MASYARAKAT INDONESIA
PROMO CASHBACK 10% DARI NILAI KEKALAHAN ANDA INDOMONOPOLY ADALAH GAME ONLINE TERBAIK
DENGAN PROSES DEPOSIT DAN WITHDRAW PALING LAMBAT HANYA 2 MENIT (SELAMA BANK ONLINE).
TERTARIK / BERMINAT ,TAPI BINGUNG BAGAIMANA CARA GABUNG DI GAME KAMI?? BISA LANGSUNG HUBUNGI
LIVE CHAT KAMI SETIA MELAYANI ANDA 24JAM. KEMUDAHAN HANYA BERSAMA KAMI DI INDOMONOPOLY
SETIA MEMBANTU ANDA SEMUA. KUNJUNGI WEB KAMI : http://bit.ly/1QULFBI