Masih dalam semangat hari Ibu, mari kita buka sedikit pembahasan tentang gaji untuk sang istri atau ibu rumah tangga. Pembahasan yang kontroversial, mengingat sebagian besar budaya masyarakat kita melihat bahwa “kerja”ibu rumah tangga itu merupakan kewajiban, pengabdian dan kewajaran. Bahkan ada idiom yang tegas menggambarkan posisi ranah kerja wanita di lingkup “sumur, kasur dan dapur”. Karenanya, penghargaan dan apresiasi dalam bentuk gaji sering dipandang keanehan tersendiri, karena bukankah itu semua adalah pengabdian dan pelayanan ?
Belum lagi jika kita lihat dari tinjauan syariat Islam, urusan gaji rumah tangga tentu akan menuai kontroversi tersendiri, masing-masing akan kukuh memengang pendapat dan kecenderungannya. Memang dalam hal ini ada perbedaan pendapat para ulama, dengan akar permasalahan : apakah mengurus pekerjaan-pekerjaan rumah seperti memasak, mencuci, membersihkan rumah adalah kewajiban istri atau tidak ?. Perdebatan dengan tema ini juga cukup panjang nan menggelitik, masing-masing dengan dalil yang menguatkan.
Dalam buku Ensklipodi fiqh Islam Kuwait yang fenomenal, disebutkan beberapa pandangan fiqh seputar wajib tidaknya seorang istri berkhidmat pada suaminya. Pertama, pandangan Jumhur ulama yang terdiri dari Syafiiyah, Hanabilah dan sebagian Malikiyah menyatakan bahwa tidak ada kewajiban bagi istri untuk berkhidmat (melayani mengurus pekerjaan rumah tangga) pada suami, tetapi lebih utama baginya jika mau mengerjakan hal tersebut sesuai kebiasaan yang ada. Sementara itu madzhab Hanafiyah melihat bahwa kewajiban istri berkhidmat pada suami secara diyanatan, yaitu mempunyai konsekuensi agama dosa tidaknya, bukan secara qodho’an atau tidak memiliki konsekuensi hukum.
Karena di Indonesia banyak menganut madzhab Syafi’I, maka sebagai gambaran singkat saja cukulah kita nukilkan ungkapan Abu Ishaq penulis Kitab Al-Majmu syarh Al-Muhadzdzab salah satu referensi induk madzhab Syafi’I, dimana beliau menyatakan : Tidak wajib atas istri berkhidmat untuk membuat roti, memasak, mencuci dan bentuk khidmat lainnya, karena yang ditetapkan (dalam pernikahan) adalah kewajiban untuk memberi pelayanan seksual (istimta'), sedangkan pelayanan lainnya tidak termasuk kewajiban. Pandangan lain adalah dari Madzhab Maliki yang menyatakan bahwa : wajib bagi seorang wanita untuk berkhidmat pada suami, melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik sesuai adat yang ada.Pendapat ini secara umum juga didukung oleh para ulama seperti Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim al Jauziyah, dan juga ulama kontempores seperti Syeikh Bin Baz, dan Syeikh Utsaimin, Muhammad Abduh dan Syeikh Abu Zahroh, dan Dr Yusuf Qardhawi, masing-masing dengan pandangan dan dalil yang sedikit berbeda namun dengan kesimpulan yang tidak jauh berbeda. Secara khusus Syeikh Qardhawi menyatakan kewajiban tersebut ada dan melekat pada istri karena suami wajib memberikan nafkah kepada istri. Nafkah yang dimaksud syeikh Qardhawi ini bukan semata “nafkah umum” yang menjadi kebutuhan rumah tangga seperti makanan, listrik, air dsb, namun juga termasuk “nafkah ekslusif” yang dikhususkan untuk para istri. Dari pendapat Qardhawi inilah kita bisa juga temukan isyarat tentang “gaji untuk ibu rumah tangga”.
Terlepas dari soal pandangan fiqih yang masih menyimpan perbedaan, soal “gaji ibu rumah tangga” secara rutin perbulan atau per periode waktu, ternyata sudah menjadi pembahasan di banyak negara, meski dalam nama, bentuk, alasan dan besaran yang berbeda. Mungkin karena sebuah logika sederhana, bahwa seorang biasa mengeluarkan dana untuk membayar tukang cuci, masak, dan sebagainya, maka semestinya pun saat sang istri melakukan pekerjaan tersebut, ia mendapatkan penghargaan yang serupa.
Di Australia misalnya, hal sejenis ‘gaji ibu rumah tangga’ bisa kita dapatkan dalam berbagai fasilitas yang diterima oleh penduduknya dalam beberapa kondisi. Misalnya, ada tunjangan sebesar $5000 (sekitar 50 juta) bagi para ibu yang melahirkan anak pertama atau $3000 (sekitar 30 juta) untuk anak kedua dan seterusnya. Kemudian juga bagi mereka yang tidak bisa bekerja di luar karena harus menjaga anak – anak, orang tua atau keluarga yang sakit, akan diberikan tunjangan rutin setiap 2 minggu sekali sampai bisa kembali bekerja di luar.
Di negera timur Tengah seperti Kuwait misalnya, juga sudah menerapkan aturan tentang gaji bagi para wanita yang “pensiun” dari pekerjaan dan memilih di rumah, dengan diberikan gaji rutin setiap bulan dikisaran 559 Kuwait Dinar, atau setara dengan 25 juta rupiah, tentu dengan syarat-syarat dan ketentuan khusus. Begitu pula di Arab Saudi, wacana tentang gaji rumah tangga bagi perempuan yang memilih bekerja di rumah cukup gencar dimunculkan di media, baik oleh kalangan peneliti sosial maupun oleh ulamanya, dan disambut luas oleh masyarakat Saudi berupa dukungan melalui twitter. Salah satu niatan yang mengemuka adalah untuk mengurangi ikhtilat antara laki-laki dan perempuan dalam dunia kerja. Bahkan “tuntutan” gaji ibu rumah tangga yang mengemuka ada dikisaran 3000 Riyal Saudi (10 juta) hingga 8000 Riyal Saudi (30 juta rupiah), bergantung dengan ijazah yang dimiliki sang wanita.
Menarik memang melihat tuntutan adanya gaji untuk ibu rumah tangga di beberapa negara, serta besaran yang cukup wah untuk ukuran di negara kita. Sebenarnya berapa ya besaran gaji bulanan yang pantas untuk diberikan pada sosok ibu rumah tangga ? Ternyata dalam hal ini sudah banyak dilakukan beberapa penelitian yang memunculkan angka-angka cukup mencengangkan. Laman berita detik com misalnya, pada tahun 2014 yang lalu pernah memuat hasil penelitian yang dilakukan oleh perusahan penerbitan Parragon di Inggris. Dalam survei yang melibatkan 2000 kaum ibu yang sehari-harinya menjalani berbagai tugas mulai dari memasak, bersih-bersih, mengurus anak hingga menjadi 'supir pribadi' untuk anak dan suami, muncul angka besaran gajinya yang layak minimal adalah 30 ribu poundsterling atau lebih dari Rp 611 juta setahun. Dalam hitingan rupiah berarti sekitar 5 juta perbulan, namun itupun belum dihitung lembur.
Angka lain yang lebih mencengangkan disebutkan oleh Hidayatullah com yang merujuk situs reuters com, dimana setelah dilakukan survei kepada 18.000 ibu-ibu rumah tangga di Toronto, Kanada, muncul angka gaji standar untuk ibu rumah tangga di sana adalah mencapai $124.000 perbulan, atau sekitar 1,6 Milyar per bulan dengan kurs hari ini. Angka ini juga tidak jauh berbeda dengan apa yang dirilis oleh situs salary com tentang gaji seorang ibu rumah tangga, dari penelitian yang dilakukan di banyak wilayah di Amerika Serikat, keluar besaran angka sekitar 1,2 hingga 1,6 Milyar per bulan. Situs tersebut bahkan menjelaskan secara lebih rinci seputar apa saja jenis pekerjaan ibu rumah tangga, berapa jam rata-rata dikerjakan dalam setiap pekannya, serta tentu saja gaji yang layak untuk diberikan dengan aneka ragam pekerjaan semacam itu.
Akhirnya, tulisan ini bukan dimaksudkan untuk membuka lahan sengketa baru antara suami istri. Kita meyakini bahwa wilayah pekerjaan rumah tangga bukan semata hitam putih, tuntut menuntut antara hak dan kewajiban. Kita meyakini bahwa ditengah itu semua ada cinta, pengabdian dan kemuliaan yang mendasari seorang istri saat berkhidmat mengurus suaminya, atau begitupula sebaliknya saat sang suami membantu banyak pekerjaan di rumah. Tulisan ini agar setidaknya para suami mengapresiasi dengan lebih baik lagi apa yang telah dilakukan oleh para istri di rumah, yang ternyata melakukan banyak pekerjaan multi tasking dari mulai laundry, office boy, chef, guru les, driver dan seterusnya.
Jika para suami mempunyai rejeki berlebih, tentu nafkah ekslusif berupa gaji layak untuk diberikan kepada sang istri, atau setidaknya diberikan seorang asisten rumah tangga untuk membantu kerepotan sang istri, atau tentu saja turut turun langsung membantu aneka pekerjaan rumah tangga, khususnya saat berada di rumah. Semuanya tentu tetap di dasari dengan rasa cinta sepenuh tanggung jawab. Juga buat para istri, jika apresiasi dari suami belum semestinya, belum ada jua gaji yang menyapa setiap bulan, teruslah tersenyum dan yakinlah bahwa ada nilai kemuliaan dalam setiap hal yang menyenangkan suami dan menghapus lelahnya. Insya Allah ada “gaji” yang rapih tercatat malaikat dan menanti untuk dirapel di akhir masa
Belum lagi jika kita lihat dari tinjauan syariat Islam, urusan gaji rumah tangga tentu akan menuai kontroversi tersendiri, masing-masing akan kukuh memengang pendapat dan kecenderungannya. Memang dalam hal ini ada perbedaan pendapat para ulama, dengan akar permasalahan : apakah mengurus pekerjaan-pekerjaan rumah seperti memasak, mencuci, membersihkan rumah adalah kewajiban istri atau tidak ?. Perdebatan dengan tema ini juga cukup panjang nan menggelitik, masing-masing dengan dalil yang menguatkan.
Dalam buku Ensklipodi fiqh Islam Kuwait yang fenomenal, disebutkan beberapa pandangan fiqh seputar wajib tidaknya seorang istri berkhidmat pada suaminya. Pertama, pandangan Jumhur ulama yang terdiri dari Syafiiyah, Hanabilah dan sebagian Malikiyah menyatakan bahwa tidak ada kewajiban bagi istri untuk berkhidmat (melayani mengurus pekerjaan rumah tangga) pada suami, tetapi lebih utama baginya jika mau mengerjakan hal tersebut sesuai kebiasaan yang ada. Sementara itu madzhab Hanafiyah melihat bahwa kewajiban istri berkhidmat pada suami secara diyanatan, yaitu mempunyai konsekuensi agama dosa tidaknya, bukan secara qodho’an atau tidak memiliki konsekuensi hukum.
Karena di Indonesia banyak menganut madzhab Syafi’I, maka sebagai gambaran singkat saja cukulah kita nukilkan ungkapan Abu Ishaq penulis Kitab Al-Majmu syarh Al-Muhadzdzab salah satu referensi induk madzhab Syafi’I, dimana beliau menyatakan : Tidak wajib atas istri berkhidmat untuk membuat roti, memasak, mencuci dan bentuk khidmat lainnya, karena yang ditetapkan (dalam pernikahan) adalah kewajiban untuk memberi pelayanan seksual (istimta'), sedangkan pelayanan lainnya tidak termasuk kewajiban. Pandangan lain adalah dari Madzhab Maliki yang menyatakan bahwa : wajib bagi seorang wanita untuk berkhidmat pada suami, melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik sesuai adat yang ada.Pendapat ini secara umum juga didukung oleh para ulama seperti Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim al Jauziyah, dan juga ulama kontempores seperti Syeikh Bin Baz, dan Syeikh Utsaimin, Muhammad Abduh dan Syeikh Abu Zahroh, dan Dr Yusuf Qardhawi, masing-masing dengan pandangan dan dalil yang sedikit berbeda namun dengan kesimpulan yang tidak jauh berbeda. Secara khusus Syeikh Qardhawi menyatakan kewajiban tersebut ada dan melekat pada istri karena suami wajib memberikan nafkah kepada istri. Nafkah yang dimaksud syeikh Qardhawi ini bukan semata “nafkah umum” yang menjadi kebutuhan rumah tangga seperti makanan, listrik, air dsb, namun juga termasuk “nafkah ekslusif” yang dikhususkan untuk para istri. Dari pendapat Qardhawi inilah kita bisa juga temukan isyarat tentang “gaji untuk ibu rumah tangga”.
Terlepas dari soal pandangan fiqih yang masih menyimpan perbedaan, soal “gaji ibu rumah tangga” secara rutin perbulan atau per periode waktu, ternyata sudah menjadi pembahasan di banyak negara, meski dalam nama, bentuk, alasan dan besaran yang berbeda. Mungkin karena sebuah logika sederhana, bahwa seorang biasa mengeluarkan dana untuk membayar tukang cuci, masak, dan sebagainya, maka semestinya pun saat sang istri melakukan pekerjaan tersebut, ia mendapatkan penghargaan yang serupa.
Di Australia misalnya, hal sejenis ‘gaji ibu rumah tangga’ bisa kita dapatkan dalam berbagai fasilitas yang diterima oleh penduduknya dalam beberapa kondisi. Misalnya, ada tunjangan sebesar $5000 (sekitar 50 juta) bagi para ibu yang melahirkan anak pertama atau $3000 (sekitar 30 juta) untuk anak kedua dan seterusnya. Kemudian juga bagi mereka yang tidak bisa bekerja di luar karena harus menjaga anak – anak, orang tua atau keluarga yang sakit, akan diberikan tunjangan rutin setiap 2 minggu sekali sampai bisa kembali bekerja di luar.
Di negera timur Tengah seperti Kuwait misalnya, juga sudah menerapkan aturan tentang gaji bagi para wanita yang “pensiun” dari pekerjaan dan memilih di rumah, dengan diberikan gaji rutin setiap bulan dikisaran 559 Kuwait Dinar, atau setara dengan 25 juta rupiah, tentu dengan syarat-syarat dan ketentuan khusus. Begitu pula di Arab Saudi, wacana tentang gaji rumah tangga bagi perempuan yang memilih bekerja di rumah cukup gencar dimunculkan di media, baik oleh kalangan peneliti sosial maupun oleh ulamanya, dan disambut luas oleh masyarakat Saudi berupa dukungan melalui twitter. Salah satu niatan yang mengemuka adalah untuk mengurangi ikhtilat antara laki-laki dan perempuan dalam dunia kerja. Bahkan “tuntutan” gaji ibu rumah tangga yang mengemuka ada dikisaran 3000 Riyal Saudi (10 juta) hingga 8000 Riyal Saudi (30 juta rupiah), bergantung dengan ijazah yang dimiliki sang wanita.
Menarik memang melihat tuntutan adanya gaji untuk ibu rumah tangga di beberapa negara, serta besaran yang cukup wah untuk ukuran di negara kita. Sebenarnya berapa ya besaran gaji bulanan yang pantas untuk diberikan pada sosok ibu rumah tangga ? Ternyata dalam hal ini sudah banyak dilakukan beberapa penelitian yang memunculkan angka-angka cukup mencengangkan. Laman berita detik com misalnya, pada tahun 2014 yang lalu pernah memuat hasil penelitian yang dilakukan oleh perusahan penerbitan Parragon di Inggris. Dalam survei yang melibatkan 2000 kaum ibu yang sehari-harinya menjalani berbagai tugas mulai dari memasak, bersih-bersih, mengurus anak hingga menjadi 'supir pribadi' untuk anak dan suami, muncul angka besaran gajinya yang layak minimal adalah 30 ribu poundsterling atau lebih dari Rp 611 juta setahun. Dalam hitingan rupiah berarti sekitar 5 juta perbulan, namun itupun belum dihitung lembur.
Angka lain yang lebih mencengangkan disebutkan oleh Hidayatullah com yang merujuk situs reuters com, dimana setelah dilakukan survei kepada 18.000 ibu-ibu rumah tangga di Toronto, Kanada, muncul angka gaji standar untuk ibu rumah tangga di sana adalah mencapai $124.000 perbulan, atau sekitar 1,6 Milyar per bulan dengan kurs hari ini. Angka ini juga tidak jauh berbeda dengan apa yang dirilis oleh situs salary com tentang gaji seorang ibu rumah tangga, dari penelitian yang dilakukan di banyak wilayah di Amerika Serikat, keluar besaran angka sekitar 1,2 hingga 1,6 Milyar per bulan. Situs tersebut bahkan menjelaskan secara lebih rinci seputar apa saja jenis pekerjaan ibu rumah tangga, berapa jam rata-rata dikerjakan dalam setiap pekannya, serta tentu saja gaji yang layak untuk diberikan dengan aneka ragam pekerjaan semacam itu.
Akhirnya, tulisan ini bukan dimaksudkan untuk membuka lahan sengketa baru antara suami istri. Kita meyakini bahwa wilayah pekerjaan rumah tangga bukan semata hitam putih, tuntut menuntut antara hak dan kewajiban. Kita meyakini bahwa ditengah itu semua ada cinta, pengabdian dan kemuliaan yang mendasari seorang istri saat berkhidmat mengurus suaminya, atau begitupula sebaliknya saat sang suami membantu banyak pekerjaan di rumah. Tulisan ini agar setidaknya para suami mengapresiasi dengan lebih baik lagi apa yang telah dilakukan oleh para istri di rumah, yang ternyata melakukan banyak pekerjaan multi tasking dari mulai laundry, office boy, chef, guru les, driver dan seterusnya.
Jika para suami mempunyai rejeki berlebih, tentu nafkah ekslusif berupa gaji layak untuk diberikan kepada sang istri, atau setidaknya diberikan seorang asisten rumah tangga untuk membantu kerepotan sang istri, atau tentu saja turut turun langsung membantu aneka pekerjaan rumah tangga, khususnya saat berada di rumah. Semuanya tentu tetap di dasari dengan rasa cinta sepenuh tanggung jawab. Juga buat para istri, jika apresiasi dari suami belum semestinya, belum ada jua gaji yang menyapa setiap bulan, teruslah tersenyum dan yakinlah bahwa ada nilai kemuliaan dalam setiap hal yang menyenangkan suami dan menghapus lelahnya. Insya Allah ada “gaji” yang rapih tercatat malaikat dan menanti untuk dirapel di akhir masa
Bacaan artikel yang menarik..
BalasHapushttp://anariasouvenir.com/