Dalam pandangan banyak orang, standar kemuliaan seorang
insan teramat sangat beragam. Hampir disetiap daerah atau budaya memiliki
standar yang berbeda tentang hakikat kemuliaan. Dalam lingkungan feodal atau
budaya kerajaan misalnya, standar kemuliaan biasanya identik dengan silsilah
garis keturunan. Mereka yang lebih dekat dengan keturunan raja, otomatis anggap
dianggap lebih mulia dengan status “keningratan” yang dimiliki, daripada mereka
para abdi dalem atau bahkan rakyat biasa. Bahkan kemuliaan tersebut terkesan
berlebihan hingga disandarkan istilah “darah biru” bagi mereka yang memiliki
garis keturunan ningrat tersebut.
Tak jauh berbeda dengan mereka yang menjadikan keturunan
sebagai standar kemuliaan, ada juga yang meyakini bahwa bentuk fisik dan warna
kulit sebagai standar kemuliaan seseorang, yang dalam tahapan lebih parah
berujung pada perilaku rasisme. Sejarah panjang mencatat bagaimana perilaku dan
keyakinan rasisme telah banyak menghinakan kemanusiaan dan menumpahkan banyak
darah. Dari mulai perbudakan masa kejayaan Yunani dan Romawi, kemudian
berlanjut pada Abad ke-16 dimana Eropa mendatangkan orang Afrika berkulit hitam
dan dianggap sebagai budak barang dagangan. Tercatat sekitar 11,8 juta rakyat
Afrika diperdagangkan selama masa Perdagangan Budak Atlantik, di mana sekitar
10 sampai 20% nya tewas dalam perjalanan menyeberangi samudra Atlantik .
Kemudian bagaimana Ras Aria di Jerman menumpahkan banyak darah pada etnis
lainnya pada masa perang Dunia II salah satunya karena kebanggaan atas suku
bangsa dan merendahkan yang lainnya. Hal yang sama juga terjadi pada kasus
pengusiran warga asli Indian di Amerika, dan suku Aborigin di Australia.
Semuanya bisa jadi berawal dari menjadikan bentuk fisik dan warna kulit menjadi
standar kemuliaan yang digadang-gadang.
Sementara itu dalam budaya masyarakat modern kapitalis
seperti saat ini, yang menjadi standar kemuliaan seseorang biasanya tidak
terlepas dari : kekayaan, kekuasaan dan popularitas. Mereka yang memiliki
kekayaan, kekuasaan dan popularitas dianggap sebagai manusia termulia yang
layak mendapatkan penghormatan luar biasa. Banyak anak kecil dan anak muda yang
bermimpi menjadi artis, pengusaha, dan pejabat demi mendapatkan kemuliaan
tersebut. Gelaran kontes Idol dimana-mana menjadi salah satu bukti bagaimana
cara mereka memimpikan sebuah kesuksesan.
Kekayaan hampir dianggap bisa menyatukan semuanya, dengan kekayaan maka
kekuasaan akan mudah diraih, begitu juga popularitas. Sudah bukan rahasia lagi,
banyak pengusaha sukses tampil menjadi pejabat dan penguasa dalam even pilkada
dengan mengandalkan kekayaannya. Lengkap sudah kekayaan menjadi impian sebagian
besar masyarakat dengan jargon yang melenakan : “ kecil dimanja, muda foya
foya, tua kaya raya, mati masuk surga”.
Syariat Islam yang indah mengajarkan sesungguhnya hakikat
dan standar kemuliaan bagi setiap insan. Bukan tentang keturunan, harta,
apalagi sebatas bentuk fisik dan warna kulit, tetapi jauh dari hal tersebut,
yang menjadi acuan kemuliaan seorang manusia adalah ketakwaan yang dimiliki. Dalam hal disebutkan dalam Al-Quran maupun
As-Sunnah, diantaranya Allah SWT berfirman : “Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.” (QS. Al Hujurat: 13)
Adapun dalam hadits,
Rasulullah SAW membantah standar fisik dan harta sebagai kemuliaan, ia
bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada rupa dan harta kalian. Namun
yang Allah lihat adalah hati dan amalan kalian.” (HR. Muslim ). Dalam
riwayat yang lain, beliau juga menegaskan kembali tentang takwa sebagai standar
dan indikator kemuliaan seseorang, beliau bersabda kepada Abu Dzar : “Lihatlah, engkau tidaklah
akan baik dari orang yang berkulit merah atau berkulit hitam sampai engkau
mengungguli mereka dengan takwa.” (HR. Ahmad)
Menjadi Insan Mulia dengan Ilmu dan Harta ?
Ketakwaan adalah indikator utama dalam kemuliaan seorang
insan. Adapun tentang bagaimana ciri orang bertakwa, teramat banyak disebutkan
dalam Al-Quran, dan insya Allah akan kita bahas secara tersendiri. Hal lain
yang menarik juga untuk dikaji, bahwa dari sekian indikator kemuliaan seorang
insan dalam pandangan masyarakat, ada dua hal yang juga diakui tersendiri oleh
Islam, yaitu : ilmu dan harta. Dalam Islam keduanya mendapatkan tempat
tersendiri, yang mana mereka yang memiliki dan menggunakannya dengan baik, juga
akan mendapatkan kemuliaan. Tentang kemuliaan insan yang berilmu misalnya,
Allah SWT berfirman dengan jelas : “Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al
Mujadalah 58). Begitu pula dalam hadits, Rasulullah SAW menjelaskan tentang
indikator keunggulan, beliau bersabda : ““Yang terbaik di antara kalian di
masa jahiliyah adalah yang terbaik dalam Islam jika dia itu fakih (paham
agama).” (HR. Bukhari )
Adapun tentang harta, dalam AlQuran sendiri dalam beberapa
tempat disebutkan dengan istilah “khoir” yang berarti kebaikan. Dalam surat
An-Nisa ayat 5 disebutkan tentang urgensi harta dalam kehidupan. Allah SWT
berfirman : Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum
sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan
Allah sebagai pokok kehidupan. (QS An Nisa 5). Sementara itu, kaitannya dengan
kemuliaan, sahabat Ibnu Abbas RA juga
mengakui hal tersebut menjadi bagian kemuliaan seseorang di dunia, ia
mengatakan : “Mulianya seseorang di dunia adalah karena kaya. Namun mulianya
seseorang di akhirat karena takwanya.” (Lihat: Tafsir AlBaghowi).
Pandangan banyak orang tentang ilmu dan harta sebagai
indikator kemuliaan juga beragam. Dan terkadang kemudian memberi jarak yang
begitu jauh antara keduanya, seolah-olah kedua hal tersebut teramat sulit untuk
digabungkan. Bahkan lebih ekstrim lagi terkadang dengan menggeneralisir
bahwa semua yang berharta cenderung untuk meninggalkan “ilmu” dalam arti
kesalehan dan ketakwaan. Kita sering diberikan pernyataan sekaligus pertanyaan
yang aneh : “lebih baik miskin taat daripada kaya maksiat”. Agar tidak
terjebak pada logika yang keliru di atas, mari kita kaji lebih jauh bagaimana
sesungguhnya Islam memandang antara ilmu dan harta, sebagai salah satu sarana
sekaligus indikator menuju kemuliaan sang insan.
Empat Tingkatan Manusia
Rasulullah SAW memberikan ilustrasi yang sangat indah
tentang manusia dilihat dari kedudukannya dalam ilmu dan harta, beliau bersabda
: ”Perumpamaan umat ini bagaikan empat orang. Orang pertama: adalah seorang
yang dikaruniai Allah harta dan ilmu. Dengan ilmunya ia mengatur harta sehingga
bisa mengalokasikannya dengan benar. Orang kedua: adalah seorang yang
dikaruniai Allah ilmu, namun tidak dikaruniai harta. Dia berkata, ”Andaikan aku
memiliki harta seperti fulan (orang pertama), niscaya akan kugunakan seperti
apa yang dilakukannya”. Rasulullah SAW bersabda, ”Pahala dua orang tersebut
sama”. Orang ketiga: adalah seorang yang dikaruniai Allah harta namun tidak
dikaruniai ilmu. Dia bertindak asal-asalan dalam hartanya, menghamburkannya
tanpa aturan. Orang keempat: seorang yang tidak dikaruniai Allah harta maupun
ilmu. Ia berujar, ”Andaikan aku memiliki harta seperti fulan (orang ketiga);
niscaya akan kugunakan seperti apa yang dilakukannya”. Rasulullah SAW, ”Dosa
keduanya sama”. (HR. Ahmad)
Hadits di atas secara umum sebenarnya menjelaskan tentang
urgensi niat. Bahwasanya dengan niat yang baik akan mendapat pahala, dan
sebaliknya niat yang buruk juga bisa berakibat dosa. Tapi disisi lain, hadits
di atas juga mengisyaratkan beberapa hal tentang kemuliaan ilmu dan harta jika
berpadu dalam diri seorang muslim. Ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil,
diantaranya :
Pertama : Bahwa sangat ideal ketika kekayaan
dan ilmu itu bertemu pada seseorang. Ia akan mempunyai nilai kemanfaatan yang
begitu luas. Ia berinfak dengan hartanya, mengajarkan ilmunya, serta mengelola
keuangannya dengan cara yang halal dan produktif. Ini adalah tingkatan
tertinggi, yang semestinya setiap insan beriman berupaya untuk meraihnya, yaitu
ilmu dan harta.
Kedua : Bahwasanya kekayaan itu tidak berarti
apa-apa di sisi Allah SWT jika tidak didukung dengan ilmu pemiliknya. Karena ia
akan menggunakannya dengan sia-sia, atau bahkan dalam kemaksiatan dan transaksi
yang tidak halal. Kaya saja tidak dengan sendirinya bisa disebut mulia dan
beruntung, tetapi harus didukung dengan ilmu. Hal ini bersesuaian dengan ajaran
Islam yang tidak mengingkan kekayaan ada pada orang yang tidak berilmu. Dari
Amru bin Ash, Rasulullah SAW bersabda : " Sebaik-baik harta adalah yang
ada di tangan laki-laki shalih " ( HR Ahmad)
Ketiga : Bahwasanya ilmu tanpa kekayaan tetaplah mulia.
Ia bisa terus mengajarkan kebaikan, dan juga meniatkan berbuat baik atau
bersedekah ketika harta itu akhirnya datang juga.
Mulia dengan Ilmu dan Harta
Kita bisa melihat bagaimana Islam tidak memisahkan antara
ilmu dan harta sebagai salah satu indikator kemuliaan, selama dipenuhi
syarat-syaratnya. Dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Mas'ud ra, Rasulullah SAW
bersabda : " Tidak boleh iri (hasad) kecuali pada dua orang (yaitu) ;
laki-laki yang diberikan harta oleh Allah, kemudian ia menggunakannya dengan
baik dan benar, dan laki-laki yang diberikan hikmah (ilmu) oleh Allah, maka ia
menghukumi dengannya dan mengajarkannya (HR Muttafaq 'alaih)
Hadits di atas sama-sama memotivasi kita untuk menjadi orang
kaya di satu sisi, dan menjadi orang berilmu di sisi yang lain. Diawal hadits
saja telah disebutkan dengan tegas, bolehnya iri atau ingin menjadi dua orang
yang disebutkan di atas. Namun sekali lagi, kemuliaan ilmu dan kemuliaan harta
ternyata juga harus diikuti dengan pemenuhan kewajiban-kewajibannya. Mempunyai
ilmu harus berani mengajarkan, sementara mempunyai harta berarti harus berani
menggunakannya di jalan yang benar serta menginfakkannya. Pada sisi ini,
berarti antara kaya dan berilmu posisinya netral, sama-sama berpotensi untuk
mulia, atau juga hina jika tidak menjalankan kewajiban-kewajiban terkait apa
yang dimilikinya.
Bertemunya ilmu dan harta juga bisa kita lihat dengan mudah
pada generasi sahabat, hingga keberadaan mereka yang sibuk beramal dan
bersedekah membuat sebagian orang-orang miskin madinah sempat iri dan khawatir
tidak akan kebagian pahala. Keresahan kaum fakir madinah akan ketinggalan
pahala ini direkam dengan baik oleh sahabat Abu Dzar al Ghifari, beliau mengatakan
: “ beberapa orang dari sahabat Nabi SAW (yang miskin) berkata kepada beliau,
“Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah membawa pahala (yang banyak), mereka
shalat bagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, dan
mereka bersedekah dengan kelebihan harta-harta mereka.” (HR Muslim). Hadits di atas kembali mengingatkan betapa kemuliaan itu bisa tercipta dengan
indah saat ilmu dan harta bisa menyatu pada diri seorang insan.
Semoga kita semua mampu mewujudkannya. Wallahu a'lam bisshowab
tentunya dgn ilmu lah kita jadi insan yg mulia
BalasHapus