bersama sekjen KMI di depan masjid Bilal |
Tapi sebagian anak muda yang lain, Korea bukanlah gambaran tentang negeri penuh idola dan tempat bersenang-senang. Korea adalah negeri harapan sebagai tempat bekerja, mengumpulkan dana untuk nafkah keluarga di tanah air, sekaligus modal untuk berdagang di masa mendatang. Terbatasnya pekerjaan di tanah air ditambah tingkat gaji yang rendah, menjadikan salah satu dari sekian alasan setiap tahun gelombang pemuda Indonesia berbondong-bondong mendaftar mengikuti ujian ke Korea. Tercatat kisaran 24.000-an lebih pelamar tiap tahunnya mengikuti ujian EPS-TOPIK (Employment Permit System – Test of Proficency in Korea) , memperebutkan 7000-9000 kuota pekerjaan yang disediakan. Maka ketika kemudian mereka lulus ujian dan benar-benar berhasil berangkat ke Korea, selintas gurat kebahagiaan telah berhasil ditorehkan.
Tapi kebahagiaan bukan hanya soal bisa bekerja di Korea dan mengumpulkan pundi-pundi won untuk keluarga. Sebagai seorang muslim, para Buruh Migran Indonesia (BMI) yang bekerja di Korea juga mengalami aneka ragam permasalahan tinggal di daerah minoritas muslim. Di negeri ginseng ini jumlah muslimin sangat sedikit, bahkan tidak sampai 1% dari sekitar 50juta penduduknya. Tercatat pada sensus tahun 2005, populasi muslim di Korsel sejumlah 145.000-160.000, dimana 100.000 diantaranya adalah pendatang, alias bukan penduduk Asli korea. Jumlah BMI di Korea sendiri mencapai kisaran 35.000-an, dimana sebagian besarnya tentu adalah muslim.
Hambatan yang dihadapi sebagai minoritas tentu sangat beragam, diantara adalah ketersediaan tempat ibadah yang terbatas dan jauh jaraknya, permasalahan ijin sholat Jumat saat bekerja, ketersediaan makanan halal khususnya daging, dan belum lagi soal pandangan mengkaitkan Islam dengan terorisme. Pandangan warga korea terhadap Islam pernah semakin memburuk paska krisis sandera tahun 2007, dimana Taliban menangkap 23 warga Korea yang mengunjungi Afghanistan dan membunuh dua diantaranya karena ditengarai sebagai missionaris. Hal semacam itu tentu menjadikan trauma tersendiri bagi warga Korea, dan juga kaum muslimin yang di Korea, tak terkecuali pekerja Indonesia yang tinggal di sana.
Kegiatan Pengajian Bulanan |
Baik komunitas muslim di tiap kota, ataupun organisasi-organisasi besar lainnya, seringkali bersinergi gotong royong menyelenggarakan kegiatan besar tahunan seperti Tabligk Akbar, yang mengundang pembicara-pembicara ternama dari tanah air, seperti : Aa Gym, Yusuf Mansur, dan juga KH. Mustofa Bisri (Gus Mus). Mendengarkan siramahan ruhiyah sekaligus berkumpul dengan banyak saudara seiman dan seperjuangan di Korea, tentu menjadi momentum yang sangat dirindukan.
Di kalangan masyarakat Indonesia luar negeri ada semacam anekdot yang agak menyindir tapi sebenarnya adalah kenyataan di banyak tempat. Diceritakan jika dua orang Indonesia bertemu di luar negeri, mereka akan saling bertanya : dimanakah masjid di kota ini ?. Sementara jika ada dua orang Arab atau Pakistan yang saling bertemu di luar negeri, mereka akan saling bertanya : “Dimana kita bisa bangun masjid di kota ini ?”. Kenyataan demikianlah yang penulis rasakan ketika menjalankan tugas safari dakwah PKPU di beberapa negara sebelum ini, khususnya negeri yang banyak pekerja Indonesianya seperti Taiwan dan Jepang.
Namun anekdot di atas ternyata tidak berlaku bagi kaum muslimin Indonesia di negeri ginseng ini. Komunitas muslimin Indonesia di tiap daerah atau kota di Korea bukan hanya berkumpul-kumpul saja, tetapi senantiasa fokus untuk menyewa atau membangun masjid sebagai tempat ibadah sekaligus pusat kegiatan dan silaturahmi. Anas Nasihuddin, Sekjen KMI yang juga mahasiswa S2 Korea Maritim & Ocean University mengkonfirmasi, bahwa saat ini ada 47 masjid atau musholla yang dikelola oleh para buruh migran Indonesia di Korea, baik itu masih menyewa atau bahkan yang membeli sendiri. Untuk menyewa atau membangun masjid dan musholla tersebut, tentu mereka harus menyisihkan sebagian dari gaji yang di dapat secara rutin.
Adalah Masjid Sayyidina Bilal di daerah Changwon dimana saat ini penulis berkesempatan diundang berdakwah oleh pihak KMC (Kyeongnam Muslim Community) bekerja sama dengan PKPU Korsel, tercatat menjadi masjid pertama yang dibangun komunitas muslim Indonesia di Korea. Tidak tanggung-tanggung, harga yang dikeluarkan untuk ‘menebus’ kerinduan memiliki masjid sendiri yang nyaman senilai hampir 9 Milar rupiah, dengan perincian 5,6 Milyar rupiah untuk membeli bangunan & tanah, serta sekitar 3 Miliar rupiah untuk renovasi bangunan agar layak dan berfungsi optimal sebagai sebuah masjid. Suatu besaran nilai yang tentu sangat “besar”di dapat dari sumbangan bersama TKI muslim di Korea yang bersemangat untuk menghidupkan dakwah di negeri ginseng ini. Bahkan masjid yang terdiri dari tiga lantai ini diresmikan langsung oleh Dubes RI untuk Korsel pada 2 Februari 2011 yang lalu.
suasana makan setelah kegiatan |
Saat ini, masjid Sayyidina Bilal Changwon telah mewarnai hari-hari para pekerja muslim di kota ini, bukan hanya dari Indonesia saja, tetapi juga dari Pakistan, Uzbekistan, Bangladesh turut meramaikan khususnya saat sholat Jumat. Serangkaian kegiatan rutin dijalankan, dari mulai kajian harian setelah sholat wajib yang meliputi : Tahsin dan Tadabbur One Day One Ayat bakda shubuh, pembacaan Kitab Fadhoilul Amal bakda dhuhur, Kajian Siroh Sahabat bakdha Ashar, dan Kajian Kitab Riyadhus Sholihin bakda Isya, hingga bentuk kegiatan pekanan seperti pembacaan Yasin dan Khataman Quran, serta juga kegiatan pengajian Akbar Bulanan dan pengajian khusus muslimah. Untuk memastikan kegiatan keislaman berjalan dengan baik, Masjid Sayyidina Bilal secara rutin mengundang para ustadz dari Indonesia untuk menjadi Imam dan pengampu kajian rutinnya secara bergantian setiap tiga bulan sekali. Banyak syiar kegiatan dan taklim memang menjadikan suasana masjid seolah bagaikan sebuah pesantren tempat dimana para TKI menjadi santri. Bahkan untuk acara makan-makan setiap haripun mereka terbiasa secara berjamaah menggunakan nampan sebagaimana biasa kita lihat di pesantren. Mas Waluyo, salah seorang TKI asal Cilacap dengan penuh pendalaman mengakui, bahwa justru di Korsel inilah melalui masjid Bilal dia lebih mengenal dan menjalankan Islam, serta belajar ilmu-ilmu agama daripada saat dahulu di Korea.
Toko Indonesia yang dikelola masjid |
Diluar semua perkembangan dan kemajuan dakwah yang ada, untuk saat ini, pihak KMC Masjid Bilal Changwon masih memikirkan hambatan perijinan resmi untuk masjid, karena ijin yang ada baru sebatas “rumah imam” dan tidak bisa ditingkatkan menjadi tempat ibadah resmi karena lokasi yang tidak memungkinkan. Pemerintah daerah Changwon sudah menawarkan sebidang lahan seluas sekitar 1000 meter persegi untuk lokasi rumah ibadah resmi, tetapi dana yang dibutuhkan untuk menebusnya masih sangat jauh dari jangkauan, belum lagi untuk keperluan membangun masjid kembali yang lebih besar.
Meskipun masih ada hambatan terbentang di hadapan, tetapi selama masjid masih menjadi tempat rujukan para TKI Korea untuk beribadah dan berkumpul, insya Allah akan ada solusi sedikit demi sedikit. Kita harapkan masjid-masjid lainnya di Korea yang dikelola TKI Korea, juga mampu terus maju dan berkembang, saling mendukung satu sama lain, agar dakwah Islam di Korea terus semarak nan begitu indah memikat hati, seperti indahnya bunga sakura di Jinhae, Changwon saat musim semi tiba. Hwaiting Chingu !!
mudah-mudahan bisa ke Kuwait Ustadz
BalasHapus