Terima kasih buat Ibu Leyla Hana yang telah menyempatkan menulis resensi buku saya : Malam Janganlah Cepat Berlalu pada 2013 yang lalu. Kami muat dalam blog ini sebagai pengingat dan juga motivasi untuk terus kembali berkarya.
Judul: Malam, Janganlah Cepat Berlalu
Penulis: Hatta Syamsuddin, Lc
Penerbit: Indiva Media Kreasi
Tahun Terbit: Cetakan Pertama, Agustus 2013
ISBN: 978-602-1614-04-4
Harga: Rp 45 Ribu
Ukuran: 19 cm
Halaman: 344 halaman
Di sebuah mall di kawasan Depok, terlihat sepasang muda-mudi yang belum menikah, bergandengan tangan dan sesekali berpelukan, tak peduli oleh tatapan mata penuh tanya dari orang-orang di sekitarnya. Di belakang mereka, sepasang suami istri justru hanya berjalan bersisian tanpa ada kontak fisik yang menunjukkan bahwa mereka sudah menikah. Mengapa pasangan yang statusnya masih pacaran itu bisa lebih romantis daripada pasangan yang sudah menikah?
Kenyataannya, banyak yang begitu. Terutama dari pihak suami. Setelah menikah, banyak suami yang enggan untuk menunjukkan romantisme kepada istrinya. Bukankah seharusnya justru lebih romantis dibandingkan dengan sebelum menikah? Sedangkan para istri tak kalah abainya, dengan alasan pekerjaan rumah tangga dan anak-anak yang begitu menguras tenaga, istri-istri berkurang kepedulian kepada suaminya.
“Ah, kita kan sudah menikah, buat apa romantis-romantisan lagi?” begitu dalih pasangan suami istri yang menolak paham romantis. Rumah tangga dakwah, apalagi. Terlalu banyaknya agenda dakwah membuat waktu untuk keluarga semakin berkurang. Romantisme dianggap sebagai pekerjaan sia-sia yang tak ada nilai ibadahnya. Bahkan dapat melalaikan kita dari beribadah kepada Allah Swt. Benarkah begitu?
Mestinya, setelah menikah, suami istri justru lebih bertambah keromantisannya, karena pernikahan harus terus dipupuk agar tetap berjalan di jalur yang aman. Tak heran, banyak pasangan suami istri yang mengalami kejenuhan berumahtangga setelah bertahun-tahun bersama, bahkan tak jarang pasangan suami istri yang bercerai hanya untuk mendapatkan getar-getar cinta seperti waktu masih pengantin baru. Mereka berpikir getar-getar cinta itu bisa didapatkan dari pasangan yang baru. Istilahnya, kalau dengan istri yang lama itu sudah tidak “nyetrum” lagi.
Dilatarbelakangi oleh fenomena berkurangnya keromantisan suami istri itulah, penulis yang juga seorang Ustadz ini, menuliskan sebuah buku berjudul “Malam, Janganlah Cepat Berlalu. Mentari, Perlahanlah Sejenak.” Dari judulnya saja sudah terasa aura romantisnya. Penulis ingin mengkampanyekan romantisme suami istri dengan mengangkat empat puluh inspirasi romantis dari rumah tangga Nabi Muhammad Saw. Rasulullah adalah suami yang paling romantis. Hal itu diakui oleh istri-istrinya.
“Bagi para ummahatul mukminin, beliau bukan sekadar suami yang biasa. Beliau adalah suami yang romantis dengan segenap arti yang bisa diwakili oleh kata romantis.” (halaman 18)
Keempat puluh inspirasi romantis itu dapat dirangkum ke dalam beberapa poin berikut ini;
Pertama, romantis itu dimulai sejak sebelum menikah dan tak memiliki waktu berakhir.
Bagaimana bisa menerapkan romantisme bila menikah saja belum? Terlebih lagi bagi pasangan yang menikah tanpa pacaran. Buku ini menjelaskan beberapa cara memunculkan romantisme menjelang akad nikah. Sesuatu yang dijalani oleh hati, pikiran, dan niat yang bersih, bahwa pernikahan yang akan dijalani semata-mata hanya untuk beribadah kepada-Nya. Setelah menikah dan hingga bertahun-tahun lamanya, romantisme harus terus dipertahankan sebagai pupuk pernikahan agar bunganya senantiasa mekar.
Kedua, romantis itu tidak perlu mahal.
Kebanyakan dari kita berpikir bahwa romantis itu memerlukan biaya. Makan di kapal pesiar, membelikan hadiah-hadiah mahal, bulan madu ke luar negeri, dan sebagainya. Buku ini memberikan solusi romantisme tanpa biaya mahal tetapi berkesan. Sebagai contohnya adalah minum dari gelas yang sama secara bergantian, sebagaimana yang dicontohkan oleh Baginda Rasulullah SAW bersama dengan Aisyah Ra.
“Segelas berdua, insya Allah membawa berkah. Tidak harus hilang semua dahaga.” (halaman 56)
Ketiga, romantis itu dalam rangka beribadah kepada Allah Swt.
Tujuan melakukan romantisme itu sudah tentu untuk beribadah kepada Allah Swt, jadi jangan sampai sikap-sikap romantis terhadap pasangan justru menghalangi kita untuk beribadah kepada Allah Swt. Banyak ikhwah yang berguguran di jalan dakwah, justru setelah menikah. Dengan alasan mendahulukan kepentingan keluarga, mereka berkurang semangatnya dalam berdakwah. Yang tadinya rutin ikut taklim, menjadi bolong-bolong. Yang tadinya tilawah sehari satu juz, menjadi beberapa hari sekali. Yang tadinya rutin salat malam, menjadi tidak salat malam sama sekali. Sungguh amat disayangkan bila sikap romantisme yang ingin kita tunjukkan kepada pasangan, justru menjauhkan kita dari Allah Swt.
Keempat, romantis itu memang berhubungan dengan penampilan fisik.
Seseorang pernah bertanya kepada saya, apakah hanya lelaki tampan dan wanita cantik saja yang ditakdirkan untuk bisa bersikap romantis? Bagaimana dengan orang-orang yang tak memiliki paras rupawan? Kuncinya, bukanlah paras rupawan. Pada dasarnya memang romantisme berkaitan dengan penampilan fisik, karena daya tarik fisik itulah yang dapat memancing gairah. Untuk itulah, pasangan suami istri disunahkan berhias untuk pasangannya masing-masing. Tuntutan berhias sering kali ditujukan kepada istri, padahal suami pun harus berhias untuk istri.
“Berhias bukanlah monopoli kaum perempuan, tetapi kaum lelaki juga diseyogyakan untuk berhias. Hal ini disebabkan perempuan juga mempunyai fitrah menyukai memandang laki-laki yang tampil menarik.” (halaman 164)
Sebelum rumah tangga Anda karam karena berkurangnya romantisme terhadap pasangan, bacalah buku ini. Nikmati penjelasan-penjelasan penulis yang disesuaiakan dengan kondisi terkini, serta ringan untuk dicerna. Dan akhirnya, saya harus memberitahu bahwa suami istri yang kurang romantis di bagian awal resensi ini adalah saya dan suami saya. Untuk itulah, saya membeli dan membaca buku ini.
“Sesungguhnya orang yang terbaik di antara kamu adalah yang paling baik terhadap istrinya. Dan aku adalah yang terbaik pada istri dari kamu sekalian.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Hibban)
Penulis Resensi : Leyla Hana
Sumber : http://catatanhatiibubahagia.blogspot.co.id/2013/12/empat-puluh-inspirasi-romantis-ala.html
Judul: Malam, Janganlah Cepat Berlalu
Penulis: Hatta Syamsuddin, Lc
Penerbit: Indiva Media Kreasi
Tahun Terbit: Cetakan Pertama, Agustus 2013
ISBN: 978-602-1614-04-4
Harga: Rp 45 Ribu
Ukuran: 19 cm
Halaman: 344 halaman
Di sebuah mall di kawasan Depok, terlihat sepasang muda-mudi yang belum menikah, bergandengan tangan dan sesekali berpelukan, tak peduli oleh tatapan mata penuh tanya dari orang-orang di sekitarnya. Di belakang mereka, sepasang suami istri justru hanya berjalan bersisian tanpa ada kontak fisik yang menunjukkan bahwa mereka sudah menikah. Mengapa pasangan yang statusnya masih pacaran itu bisa lebih romantis daripada pasangan yang sudah menikah?
Kenyataannya, banyak yang begitu. Terutama dari pihak suami. Setelah menikah, banyak suami yang enggan untuk menunjukkan romantisme kepada istrinya. Bukankah seharusnya justru lebih romantis dibandingkan dengan sebelum menikah? Sedangkan para istri tak kalah abainya, dengan alasan pekerjaan rumah tangga dan anak-anak yang begitu menguras tenaga, istri-istri berkurang kepedulian kepada suaminya.
“Ah, kita kan sudah menikah, buat apa romantis-romantisan lagi?” begitu dalih pasangan suami istri yang menolak paham romantis. Rumah tangga dakwah, apalagi. Terlalu banyaknya agenda dakwah membuat waktu untuk keluarga semakin berkurang. Romantisme dianggap sebagai pekerjaan sia-sia yang tak ada nilai ibadahnya. Bahkan dapat melalaikan kita dari beribadah kepada Allah Swt. Benarkah begitu?
Mestinya, setelah menikah, suami istri justru lebih bertambah keromantisannya, karena pernikahan harus terus dipupuk agar tetap berjalan di jalur yang aman. Tak heran, banyak pasangan suami istri yang mengalami kejenuhan berumahtangga setelah bertahun-tahun bersama, bahkan tak jarang pasangan suami istri yang bercerai hanya untuk mendapatkan getar-getar cinta seperti waktu masih pengantin baru. Mereka berpikir getar-getar cinta itu bisa didapatkan dari pasangan yang baru. Istilahnya, kalau dengan istri yang lama itu sudah tidak “nyetrum” lagi.
Dilatarbelakangi oleh fenomena berkurangnya keromantisan suami istri itulah, penulis yang juga seorang Ustadz ini, menuliskan sebuah buku berjudul “Malam, Janganlah Cepat Berlalu. Mentari, Perlahanlah Sejenak.” Dari judulnya saja sudah terasa aura romantisnya. Penulis ingin mengkampanyekan romantisme suami istri dengan mengangkat empat puluh inspirasi romantis dari rumah tangga Nabi Muhammad Saw. Rasulullah adalah suami yang paling romantis. Hal itu diakui oleh istri-istrinya.
“Bagi para ummahatul mukminin, beliau bukan sekadar suami yang biasa. Beliau adalah suami yang romantis dengan segenap arti yang bisa diwakili oleh kata romantis.” (halaman 18)
Keempat puluh inspirasi romantis itu dapat dirangkum ke dalam beberapa poin berikut ini;
Pertama, romantis itu dimulai sejak sebelum menikah dan tak memiliki waktu berakhir.
Bagaimana bisa menerapkan romantisme bila menikah saja belum? Terlebih lagi bagi pasangan yang menikah tanpa pacaran. Buku ini menjelaskan beberapa cara memunculkan romantisme menjelang akad nikah. Sesuatu yang dijalani oleh hati, pikiran, dan niat yang bersih, bahwa pernikahan yang akan dijalani semata-mata hanya untuk beribadah kepada-Nya. Setelah menikah dan hingga bertahun-tahun lamanya, romantisme harus terus dipertahankan sebagai pupuk pernikahan agar bunganya senantiasa mekar.
Kedua, romantis itu tidak perlu mahal.
Kebanyakan dari kita berpikir bahwa romantis itu memerlukan biaya. Makan di kapal pesiar, membelikan hadiah-hadiah mahal, bulan madu ke luar negeri, dan sebagainya. Buku ini memberikan solusi romantisme tanpa biaya mahal tetapi berkesan. Sebagai contohnya adalah minum dari gelas yang sama secara bergantian, sebagaimana yang dicontohkan oleh Baginda Rasulullah SAW bersama dengan Aisyah Ra.
“Segelas berdua, insya Allah membawa berkah. Tidak harus hilang semua dahaga.” (halaman 56)
Ketiga, romantis itu dalam rangka beribadah kepada Allah Swt.
Tujuan melakukan romantisme itu sudah tentu untuk beribadah kepada Allah Swt, jadi jangan sampai sikap-sikap romantis terhadap pasangan justru menghalangi kita untuk beribadah kepada Allah Swt. Banyak ikhwah yang berguguran di jalan dakwah, justru setelah menikah. Dengan alasan mendahulukan kepentingan keluarga, mereka berkurang semangatnya dalam berdakwah. Yang tadinya rutin ikut taklim, menjadi bolong-bolong. Yang tadinya tilawah sehari satu juz, menjadi beberapa hari sekali. Yang tadinya rutin salat malam, menjadi tidak salat malam sama sekali. Sungguh amat disayangkan bila sikap romantisme yang ingin kita tunjukkan kepada pasangan, justru menjauhkan kita dari Allah Swt.
Keempat, romantis itu memang berhubungan dengan penampilan fisik.
Seseorang pernah bertanya kepada saya, apakah hanya lelaki tampan dan wanita cantik saja yang ditakdirkan untuk bisa bersikap romantis? Bagaimana dengan orang-orang yang tak memiliki paras rupawan? Kuncinya, bukanlah paras rupawan. Pada dasarnya memang romantisme berkaitan dengan penampilan fisik, karena daya tarik fisik itulah yang dapat memancing gairah. Untuk itulah, pasangan suami istri disunahkan berhias untuk pasangannya masing-masing. Tuntutan berhias sering kali ditujukan kepada istri, padahal suami pun harus berhias untuk istri.
“Berhias bukanlah monopoli kaum perempuan, tetapi kaum lelaki juga diseyogyakan untuk berhias. Hal ini disebabkan perempuan juga mempunyai fitrah menyukai memandang laki-laki yang tampil menarik.” (halaman 164)
Sebelum rumah tangga Anda karam karena berkurangnya romantisme terhadap pasangan, bacalah buku ini. Nikmati penjelasan-penjelasan penulis yang disesuaiakan dengan kondisi terkini, serta ringan untuk dicerna. Dan akhirnya, saya harus memberitahu bahwa suami istri yang kurang romantis di bagian awal resensi ini adalah saya dan suami saya. Untuk itulah, saya membeli dan membaca buku ini.
“Sesungguhnya orang yang terbaik di antara kamu adalah yang paling baik terhadap istrinya. Dan aku adalah yang terbaik pada istri dari kamu sekalian.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Hibban)
Penulis Resensi : Leyla Hana
Sumber : http://catatanhatiibubahagia.blogspot.co.id/2013/12/empat-puluh-inspirasi-romantis-ala.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar