Budaya menyambut Idul Adha di negara kita memang berbeda
dibanding saat Idul Fitri. Meski keduanya adalah sama-sama anugerah bagi kaum
muslimin untuk berkumpul dan bergembira, namun kenyataannya kita terlampau jauh
pilih kasih membedakan keduanya. Di jalanan saja jelang Idul Adha, nyaris tak satupun ketemu spanduk
ucapan selamat Idul Adha, yang ada malah beberapa baliho besar masih gagah
mengucapkan selamat Idul Fitri. Memang soal menyambut hari raya lebih kental
nuansa kebiasaan dan budaya. Sebagaimana di Mesir pun Idul Adha disambut
sedemikian rupa lebih besar dan meriah dibanding Idul Fitri, maka di negara
kita hal yang terjadi sebaliknya.
Lalu jika penyambutan adalah satu budaya, maka sebenarnya
tidak ada alasan juga mengapa kita tidak menyambut Idul Adha dengan kegembiraan
dan kebahagiaan yang sama. Setidaknya,
budaya ini bisa dimulai dan dibiasakan agar pada tahun-tahun ke depan bisa
lebih meriah atau bahkan sama dengan saat Idul Fitri. Bukankah Ramadhan & Idul Fitri juga
menjadi lebih semarak dan heboh karena kerja-kerja media dan bisnis yang menyemarakkannya,
bahkan dari budaya menuju ke arah “festivalisasi”.
Hakikat lebaran adalah bergembira bersama. Ada pepatah
berakit-rakit kehulu, berenang-renang kemudian. Bersakit-sakit dahulu,
bersenang-senang kemudian. Mungkin kebahagiaan Idul Fitri lebih terasa, karena
diawali dengan “bersakit-sakit” saat Ramadhan sebulan penuh dengan aneka
ibadahnya. Sejatinya demikian pula Idul Adha, ada sepuluh hari awal Dzulhijjah yang
tak kurang mulia, bahkan sebagian ulama menyebutkan sebagai hari-hari terbaik,
dan lebih utama dibanding Ramadhan, kecuali sepuluh hari akhir Ramadhan yang
menyimpan malam Lailatul Qadar.
Hari-hari Dzulhijjah juga dihiasi dengan aneka
amal kebaikan yang dicintai Allah SWT, dan ada juga hari Arofah untuk memanjatkan
doa-doa dan berpuasa. Sungguh tak kurang dalil tentang keutamaan Dzulhijjah
dengan berbagai pembahasan amal-amal di dalamnya yang tak cukup semua diulas
disini. Cukup bisa kita renungkan hadits dari Abu Bakrah ra, Rasulullah SAW
bersabda : “ Ada dua bulan yang pahala amalnya tidak akan berkurang. Keduanya
dua bulan hari raya: bulan Ramadhan dan bulan Dzulhijjah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Di Mesir sendiri kenapa Idul Adha juga relatif disambut
lebih meriah. Ternyata karena masyarakat disana sejak awal juga telah
mempersiapkan melalui syiar awal dzulhijjah dengan banyak agenda dan amalan.
Beberapa waktu yang lalu seorang teman asli Mesir bercerita bagaimana dia,
keluarga dan masyarakatnya berpuasa dari tanggal 1 hingga 9 Dzulhijjah. Dan
bagaimana pada hari-hari itu masjid juga dipenuhi dengan mereka yang mau
beribadah dan itikaf. Dan yang jelas mereka pun mudik berkumpul keluarga saat
Idul Adha, bukan Idul Fitri.
Lima Alasan Hari Raya Idul Adha Harus Meriah
Lima Alasan Hari Raya Idul Adha Harus Meriah
Sebenarnya jika kita telaah lebih mendalam, ada empat hal
yang menjadikan Idul Adha berpotensi untuk dimeriahkan dengan lebih layak,
bahkan lebih baik dari Idul Fitri. Empat hal tersebut adalah :
Pertama, Hari Raya Idul Adha
bagian tak terpisahkan dari ibadah haji. Hari itu jutaan umat muslim
berkumpul seluruh dunia di tanah suci. Sejatinya kita layak bergembira dan lega
karena di hari itu kita bergembira dengan kesuksesan saudara-saudara kita yang
berhaji karena telah melampaui inti ibadah haji yaitu wukuf di Arafah.
Kedua, dalam hari raya Idul Adha disyariatkan penyembelihan
hewan qurban, yang berarti menunjukkan perlunya persiapan pendanaan jauh-jauh
hari. Serta juga berarti bahwa pada hari itu ada hidangan spesial daging qurban
yang nikmat dan membahagiakan. Suatu hal yang saat Idul Fitri tidak secara
khusus disyariatkan.
Ketiga, adanya hari tasyrik tiga hari untuk melengkap
kebahagiaan hari raya, bahkan didalamnya kita tidak boleh berpuasa. Dari
Nubaisyah Al Hudzali, Rasulullah SAW bersabda : Hari-hari tasyrik adalah hari
makan dan minum.” (HR. Muslim no. 1141). Ini berarti isyarat untuk melanjutkan
kebahagiaan berkumpul, makan dan minum bersama keluarga secara lebih lama. Jauh
lebih lama dari Idul Fitri yang kita hanya diharamkan berpuasa selama satu hari
saja pada 1 Syawal semata.
Keempat, jika lantunan Takbiran adalah syiar hari raya yang
dinanti-nanti dan menjadi sangat berkesan nan mengharukan di hari raya, maka
sungguh momentum dan kesempatan bagi kita melantunkan takbir membentang lima
hari lamanya, sejak fajar hari Arofah hingga akhir hari Tasyriq. Silahkan
bandingkan dengan Idul Fitri yang hanya dibatasi dari magrib awal syawal hingga
Imam dimulainya sholat Ied.
Kelima, secara penyebutan dan penyambutan di beberapa tempat, justru hari raya Idul Adha memang lebih terlihat harus lebih meriah. Secara sebutan di Jawa misalnya, Idul Adha disebut dengan Hari Raya Besar. Begitu pula di Mesir, disebut dengan Ied Akbar, sementara Idul Fitri disebut dengan Ied Ashghor. Di Timur Tengah penyambutan Idul Adha jauh lebih besar dari Idul Fitri, bahkan di Malaysia sekalipun, libur Idul Adha disamakan dengan Idul Fitri. Adapun di Indonesia sendiri, beberapa daerah seperti Madura sudah sejak awal mempraktekkan sebagai tradisi tersendiri dalam memeriahkan Idul Adha. Tradisi mudik saat Idul Adha di Madura sering disebut dengan Toron.
Akhirnya setelah semua renungan dan bahasan di atas, jawaban dari pertanyaan mengapa Idul Adha tak mendapatkan sambutan yang layak dan meriah, tak lain dan tidak bukan karena kita sendiri yang tak bersegera untuk memulai mensyiarkan dan membudayakannya. Memang butuh waktu dan proses untuk itu, tapi harus dimulai agar 10 atau 20 tahun lagi anak-anak kita bisa menikmati suasana yang lebih indah saat ber-Idul Adha.
Akhirnya setelah semua renungan dan bahasan di atas, jawaban dari pertanyaan mengapa Idul Adha tak mendapatkan sambutan yang layak dan meriah, tak lain dan tidak bukan karena kita sendiri yang tak bersegera untuk memulai mensyiarkan dan membudayakannya. Memang butuh waktu dan proses untuk itu, tapi harus dimulai agar 10 atau 20 tahun lagi anak-anak kita bisa menikmati suasana yang lebih indah saat ber-Idul Adha.
Banyak syiar Islam yang membutuhkan waktu untuk menjadi
populer nan meriah. Membutuhkan proses namun hasilnya pun paten nan indah kita
nikmati hari ini. Busana jilbab pada masa orde baru 80-an hampir bisa dikatakan
sangat aneh, terlebih lagi bagi istri pegawai dan pejabat. Hanya ibu-ibu
pengajian dan dekat pesantren yang menggunakannya. Namun hari ini kita lihat
begitu marak, bukan hanya istri pejabat namun polwan dan Kowad juga tak ragu
mengenakannya. Begitu pula dengan i’tikaf akhir Ramadhan, tak banyak kita temui
20 tahun yang lampau. Namun hari ini syiar itikaf dimana-mana, bahkan dibuka
oleh pejabat sekelas bupati bahkan Gubernur sekalipun.
Begitupula kebiasaan menghafal Al Quran, dahulu semacam hak
ekslusif bagi anak pesantren semata. Hari ini banyak program tahfidz dibuka,
bahkan menjadi acara TV populer yang dinantikan setiap ramadhan. Banyak yang
semangat menghafal AlQuran.
Maka kata kuncinya adalah, mari kita mulai mensyiarkan dan
memeriahkan awal dzulhijjah dengan aneka kegiatan dan kebaikan. Tahun depan
kita niatkan, dan semoga ada perubahan meski membutuhkan waktu panjang. Wallahu
a’lam bisshowab
9 Dzulhijjah 1438 H
thank you
BalasHapuswww.ju.edu.jo
http://www.ju.edu.jo/
BalasHapusThank you tadz www.noormafitrianamzain.com
BalasHapus