1. Bagaimana sebenarnya agama islam memposisikan orang tua dan seberapa penting?
Seberapa
penting posisi orangtua bagi seorang muslim ?, Jawabannya bisa kita lihat
melalui banyaknya dalil yang menganjurkan kita untuk berbuat baik kepada
orangtua. Perintah untuk birrul walidain misalnya, ditempatkan secara urutan
setalah perintah untuk mentauhidkan Allah SWT. Firman Allah SWT : “Sembahlah
allah dan jangan kamu mempersekutukan-nya dengan sesuatupun. Dan berbuat
baiklah kepada kedua orang tua ibu bapak”. (QS AN Nisa’ : 36). Dalam hadits
juga disebutkan berbuat baik kepada orangtua adalah amal yang utama dan paling
dicintai Allah setelah kewajiban sholat.
Bahkan yang
paling jelas menunjukkan posisi orangtua bagi seorang muslim, adalah dalam
kewajiban jihad sekalipun seseorang harus minta ijin kepada orangtuanya. Dari
Abdullah bin ‘Amr RA, ia berkata : Datang seorang laki-laki kepada Nabi SAW
meminta izin untuk berjihad, maka beliau bersabda :” Apakah kedua orangtuamu
masih hidup ?” Ia menjawab : Ya, Nabi bersabda : “(berbakti) kepada keduanya
merupakan jihad”. Dalam riwayat lain,
Rasulullah SAW menjawab : ‘Kembalilah kepada keduanya lalu minta izinlah, jika
mereka mengizinkan maka berjihadlah, jika tidak maka berbaktilah kepada
keduanya”(HR Abu Daud).
Semua hal
tentang kedudukan orangtua bagi seorang muslim, bisa terangkum dalam hadits
yang singkat nan jelas : “Ridla Allah tergantung kepada keridlaan orang tua dan
murka Allah tergantung kepada kemurkaan orang tua” (HR Bukhari dalam Adabul
Mufrad, Tirmidzi, AlHakim).
2.
Kenapa pesan penting agar kita menghormati orang tua kurang atau bahkan lemah
kita taati?
Mungkin
banyak sebab mengapa hal tersebut bisa terjadi, biasanya itu terjadi karena dua
hal, pertama karena faktor pemahaman atau kesibukan dengan urusan pekerjaan dan
keluarga inti (anak dan istri). Banyak
yang merasa menghormati dan berbakti pada
orangtua, khususnya saat kita sudah mandiri sementara orangtua bertambah
lemah, adalah sesuatu yang merepotkan, dan mengganggu aktifitas kita. Mereka
terkadang ingin sekedar ngobrol dan menyapa kita, namun kita merasa hal itu
bisa dilakukan nanti-nanti saja bukan saat jam kerja.
Ada juga
faktor lain sebenarnya yang membuat anak kemudian kurang hormat atau berbakti
kepada orangtua, yaitu karena faktor mendapatkan pendidikan yang salah dari
kedua orangtuanya tersebut. Bisa jadi karena terlalu memanjakan, sehingga sang
anak tumbuh berkembang bak seorang “majikan” bagi orangtuanya. Sehingga hal
tersebut berkelanjutan hingga si anak tumbuh dewasa. Atau bisa jadi karena
sebaliknya, karena kedua orangtua terlalu keras dalam keseharian saat anak
masih kecil, hingga benih-benih sayang sang anak kepada orangtua gagal tumbuh
bersemi sebagaimana mestinya.
Kita masih
ingat, bagaimana doa yang diajarkan Allah SWT terkait orangtua kita dalam
firman-Nya : dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya,
sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (QS Al Isra
24). Doa dari ayat di atas, mengisyaratkan satu pengakuan tulus dari sang anak,
bahwasanya kedua orangtuanya telah mendidik mereka dengan baik di waktu kecil.
Bukan membiarkan, memanjakan, atau bahkan menzalimi mereka dengan kekerasan dan
kekerasan.
3.
Menurut ustadz,bagaimana cara menghormati orang tua yang benar?
Saya hanya
menyampaikan apa yang dijelaskan para ulama tentang berbuat baik/ihsan kepada
orangtua, diantaranya yaitu : berlaku lemah lembut kepada keduanya, serta
memelihara urusan dan kondisi mereka, serta tidak berbuat buruk kepada mereka.
Lebih jauh, Hasan Al Bashri saat ditanya tentang arti birrul walidain, ia
menjawab : Engkau mempersembahkan kepada mereka berdua apa yang engkau miliki,
dan engkau mentaati mereka berdua selama tidak dalam kemaksiatan.
Dengan
demikian, semua perbuatan baik masuk dalam kategori birrul walidain, dan secara
khusus bisa kita simpulkan dalam tiga hal : kasih sayang, pemeliharaan (kondisi
dan kebutuhan), serta ketaatan.
Kalau
konteks kekinian, secara teknis maka sempatkanlah untuk menyapa orangtua kita
dalam keseharian, meskipun hanya melalui telepon misalnya. Menanyakan kabar
serta bermusyawarah atas urusan kita akan menjadikan mereka tetap merasa
dihargai, sesuatu yang menjadi motivasi dalam kehidupan hari tuanya.
4. Banyak
diantara kita setelah berumahtangga lalai 'menjaga' orangtua atau mertua.malah
sibuk dng urusan rumah tangga sendiri.apa pendapat ustadz dan solusinya?
Setiap
pernikahan selalu diawali dengan pengorbanan para orangtua dalam “melepas”
anak-anaknya, setelah sekian lama mereka didik dengan baik sejak kecil.
Orangtua kita ikhlas “melepas” kita dengan sepenuh harapan kita akan hidup
bahagia setelah menemukan jodohnya.
Namun
sejatinya tidak ada status “lepas” sebagai anak meskipun kita sudah menikah. Yang
terjadi adalah kesibukan dunia kerja, atau juga perhatian yang terpecah karena
kelahiran anak-anak menjadikan kemudian kita seolah berlaku “cuek” kepada
orangtua kita. Menyayangi anak memang dalam tahapan tertentu, cukup bisa
menyibukkan kita dalam birrul walidain. Allah SWT mengisyaratkan tentang hal ini dalam
firman-Nya : (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui
siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu . (QS An Nisa
ayat 11)
Solusinya
justru terlihat sederhana, mari kita ajari anak-anak kita untuk berbakti kepada
orangtua dengan sering kita mengajak mereka untuk mengunjungi orangtua kita.
Begitu pula kita ajak istri dan sekeluarga menjalankan hal tersebut secara
rutin sesuai dengan kemampuan, jangan hanya setahun sekali saat berlebaran.
Agar orangtua kita tidak merasa anaknya benar-benar “lepas” setelah pernikahan
dan sibuk dengan keluarga barunya.
5.
Bagaimana menjalankan konsep keseimbangan antara berbakti pada orang tua dengan
urusan rumah tangga?
Ada pemahaman
yang sering dipahami salah baik oleh anak yang sudah menikah, maupun orangtua.
Kemudian keduanya sama-sama menuntut dalam posisi yang dipahami tersebut. Maka
yang terjadi kemudian adalah ketegangan demi ketegangan, atau benturan demi
benturan. Salah paham disini adalah dalam memahami hadits –hadits terkait
prioritas antara suami atau orangtua, atau antara ibu dan istri. Dalam hadits
disebutkan, Rasulullah SAW bersabda : Orang yang paling besar haknya atas
seorang perempuan adalah suaminya, dan orang yang paling besar haknya atas
seorang laki-laki adalah ibunya” (HR Al Hakim dalam AlMustadrok). Kemudian ditambah lagi dengan hadits dari Abu
Hurairah, Nabi SAW bersabda, “Andai boleh kuperintahkan seseorang untuk
bersujud kepada yang lain tentu kuperintahkan seorang istri untuk bersujud
kepada suaminya.” (HR. Tirmidzi).
Maka atas
dasar riwayat-riwayat tadi kemudian, banyak suami yang merasa berkuasa penuh
atas istrinya, termasuk kemudian membatasi istri dalam berbuat baik kepada
orangtuanya. Begitu pula banyak ibu yang merasa berkuasa atas sang anak
laki-laki, hingga kemudian malah menzalimi sang istri atau menantunya. Pemisahan dan pengkotak-kotakan semacam itu
bisa menimbulkan ketegangan serta keseimbangan dalam birrul walidain.
Sehingga
semangat yang harus dimunculkan adalah, mertua adalah sama dengan orangtua.
Pahala birrul walidain juga berlaku atas keduanya. Sehingga suami juga
bersemangat dan bahkan memotivasi istri untuk bisa berbuat baik kepada
orangtuanya, bukan membatasi dan menghalangi. Begitu pula sang istri, turut
bahagia dan mendukung saat sang suami dituntut untuk berbuat birrul walidain
kepada orangtua.
6.
Banyak anak yang menelantarkan orangtua mereka,bahkan seolah olah merelakan
orangtuanya hidup di panti jompo.apa pendapat ustadz?
Jika ada
yang melakukan demikian, berarti mereka secara sadar telah melepaskan peluang
emas mendapatkan surga. Karena birrul walidain itu justru lebih dituntut saat
kedua orangtua kita telah menua dan lemah, serta membutuhkan kita. Momentum
emas “birrul walidain” saat mereka berusia lanjut, dengan merawat dan menjaga
mereka. Dari Abu Hurairah, Rasulullah
SAW bersabda : “Celaka, sekali lagi celaka, dan sekali lagi celaka orang yang
mendapatkan kedua orang tuanya berusia lanjut, salah satunya atau keduanya,
tetapi (dengan itu) dia tidak masuk syurga” (HR Muslim)
Belum dari
sisi balas budi, justru saat mereka berusia tua lah saat paling tepat untuk
menunjukkan kita adalah anak yang tahu balas budi, meskipun itupun tak pernah
bisa setimpal membalas kebaikan orangtua kita, yang mengandung dan merawat kita
saat kecil. Abdullah bin Umar pernah
ditanya seseorang yang menggendong ibunya saat thawaf di Ka’bah : “Wahai
Abdullah bin Umar, dengan perbuatanku ini apakah aku sudah membalas jasa
ibuku.?. Maka Abdullah bin Umar ra pun menjawab : “Belum, setetespun engkau belum dapat
membalas kebaikan kedua orang tuamu”.
7. Apa
pesan ustadz terhadap pembaca majalah Ar Rayyan?
Ini pesan
bagi diri saya pribadi juga, dan kepada pembaca majalah Arroyan yang masih
diberi kesempatan untuk mendampingi kedua orangtua yang masih hidup. Manfaatkan
kesempatan emas birrul walidain ini dengan baik, jangan lewatkan satu haripun
kecuali kita sempatkan untuk menyapa dan bertanya kabar kepada mereka. Buatlah
mereka tersenyum meski sejenak. Dalam riwayat disebutkan seseorang datang
kepada Rasulullah SAW dan berkata, “Aku akan berbai’at kepadamu untuk berhijrah
dan aku tinggalkan kedua orangtuaku dalam keadaan menangis.” Maka Rasulullah
SAW pun menegurnya dengan mengatakan : “Kembalilah kepada kedua orangtuamu dan
buatlah keduanya tertawa sebagaimana engkau telah membuat keduanya menangis.”
(HR. Abu Dawud, An-Nasa’i, Al-Baihaqi dan Al-Hakim, shahih).
Dan secara
khusus bagi yang mendapatkan kesempatan bisa hidup bersama dan berdampingan,
Anda terpilih untuk menjadi insan mulia dan masuk surga saat bisa merawat
mereka dengan tekun dan baik. Ingat satu ungkapan yang benar adanya “ setangkai
bunga Anda berikan kepada orangtua Anda saat masih hidup, jauh lebih bermakna
dari ribuan kuntum bunga engkau sebarkan di atas pusaranya”.
Semoga Allah SWT
berikan kita bimbingan dan kekuatan dalam birrul walidain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar