Pertanyaan : Sebenarnya bagaimana sich definisi romantis dalam Islam?
Memang banyak dari kita yang terjebak dengan sebutan dan istilah. Kata romantis misalnya, yang bersumber dari bahasa Prancis maka kemudian diposisikan seolah-olah adalah produk barat dan bertentangan dalam Islam, bahkan hingga menyebutkan Islam sama sekali tidak mengajarkan romantisme.
Hal tersebut kurang tepat, jika kita melihat lebih jauh, romantis ini sejatinya adalah perintah Allah SWT dan teladan dari Rasulullah SAW. Betapa tidak, mari kita lihat surat An-Nisa ayat 19, dimana Allah SWT berfirman : Dan pergauilah mereka (istri-istrimu) secara patut. (QS An Nisa ayat 19). Ibnu Katsir mengartikan ayat di atas dengan : Perbaguslah ucapanmu kepada mereka, juga perbuatanmu dan tampilanmu sejauh daya kemampuanmu, sebagaimana Kalian juga suka jika mereka memperlakukanmu demikian. Jadi jelas dalam hal ini, berlaku romantis adalah perintah Allah SWT.
Kemudian, romantis juga adalah keteladanan dari sang Nabi kepada kita. Beliau bersabda dalam satu hadits : “Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik sikapnya terhadap keluarganya. Dan aku adalah yang terbaik di antara kalian terhadap keluargaku.” (HR Ibnu Majah). Dalam hadist tersebut, tersirat jelas kita diminta mencontoh Rasulullah SAW dalam urusan berbuat dan berlaku baik terhadap keluarga. Rasulullah SAW juga telah menunjukkan banyak kisah terserak tentang romantisme dalam kehidupan rumah tangga nabawi, tentunya untuk kita teladani.
Maka romantis dalam Islam bermakna lebih luas dari apa yang terbetik dalam fikiran banyak orang selama ini. Romantis selama ini dipahami sempit, yaitu hanya sebatas kata-kata puisi cinta penuh rayuan, atau pemberian bunga kepada pasangan, atau temaram lampu lilin saat makan malam berduaan, atau jalan-jalan di tempat. Itu hanya hal-hal teknis saja, pada dasarnya makna romantis dalam Islam adalah upaya untuk berlaku baik kepada pasangan, dengan aneka hal yang dibolehkan dalam syariat.
Pertanyaan : Seberapa penting menjaga romantisme rumah tangga hingga usia senja?
Perlu untuk dicatat, bahwa inspirasi romantis kita adalah manusia termulia, Rasulullah SAW. Dari rumah tangga beliau kita menemukan inspirasi romantis sejati, dan bahkan bisa menambah pahala tersendiri saat menjalankannya dengan niatan mengikuti sunnah nabi. JAdi referensi romantis kita bukan drama korea, film-film india, atau bahkan novel-novel Barat sekalipun. Mereka banyak menyebut kisah “ Romeo dan Juliet” misalnya, sebagai gambaran cinta romantis. Maka dalam hal ini pertanyaannya, apakah keduanya menikah, hidup bahagia beranak pinak dan sukses mendidik anak-anaknya ? Ternyata tidak. Kisah-kisah yang dikatakan romantis di Barat justru banyak menceritakan tentang “kasih tak sampai” karena kematian atau bahkan bunuh diri seperti dalam Romeo dan Juliet.
Maka, jika kita sepakat sumber inspirasi romantis kita adalah rumah tangga Rasulullah SAW, dengan mudah kita bisa menjawab pertanyaan di atas. Karena kenyataannya, episode romantis Rasulullah SAW bersama istri-istri beliau, jusru bukan saat beliau berusia muda, tapi malah usia tua dan sepanjang hidupnya. Sebagai catatan saja, ketika menikah dengan ibunda Aisyah saat usia beliau 52 tahun, dan kita tahu banyak episode romantis beliau dengan ibunda Aisyah bak pasangan muda saja.
Intinya, jika kita melihat romantis sebagai suatu bentuk “ibadah” yang dengannya kita mengharap pahala. Maka romantis harus tetap dijaga hingga akhir usia, meski dalam bentuk yang berbeda-beda eksperessi romantis tiap pasangan.
Pertanyaan : Sebenarnya romantis itu sifat bawaan seseorang atau memang sifat yang harus dibangun?
Banyak memang yang mengasumsikan bahwa wanita lebih romantis, dah lelaki cenderung cuek dan tidak peduli. Apalagi ditambah dengan banyaknya pecinta drama korea saat ini, maka para ibu-ibu cenderung bertambah menuduh sang suami tidak romantis sama sekali.
Pertama sekali yang harus dipahami oleh kedua pasangan,untuk menjadikan romantisme sebagai sebuah “kebiasaan” baik yang bernilai ibadah. Sehingga meskipun sedikit tetap harus diupayakan dan diagendakan. Dalam hal ini kedua pasangan harus saling memotivasi satu sama lain. Seorang suami yang ingin membahagiakan istrinya, pastilah ia akan berusaha dan berupaya untuk lebih romantis dari hari kehari.
Kedua, juga harus dipahami oleh pasangan suami istri. Bahwa ekspressi romantis tidak selalu sama untuk setiap orang. Maka jangan terlalu membuat standar romantis yang bisa jadi tidak semua orang bisa melakukan. Ada yang suka dengan puisi rayuan, ada yang suka dengan bunga, tapi ada juga yang cukup dengan pelukan dan pijatan kasih sayang, bahkan ada juga yang sekedar tatap mata dan tertawa berdua, tiap orang bisa punya cerita yang berbeda.
Tetapi penting juga kita mengetahui aneka romantisme di keluarga Rasulullah SAW, yang banyak sekali dicontohkan. Bisa kita buat list daftar romantisme Rasulullah SAW, yang bisa kita upayakan untuk diwujudkan, tentu dengan niatan mengikuti kebaikan beliau manusia termulai dan teladan kita semua.
Pertanyaan : Bagaimana tentang menampakkan kemesraan di depan umum? Perlukah ini?
Kenapa tidak ? Dalam batas-batas tertentu Rasulullah SAW menampakan aneka aplikasi romantis di hadapan sahabat. Bagaimana beliau lomba berlari bersama ibunda Aisyah, bagaimana beliau mengantarkan Sofiyah pulang saat itikaf, bagaimana beliau menggendong ibunda Aisyah untuk menonton bersama tari-tarian perang ala habsyah di suatu hari raya, bagaimana beliau pernah menolak tawaran jamuan makan saat tidak boleh mengajak Aisyah, dan lain sebagainya.
Tentu dalam praktek kita keseharian, perlu dilihat dua hal : pertama, adab dan kebiasaan di suatu tempat tentu berbeda satu sama lain. Harus dijaga betul, dan kita tentu tahu batas-batas berlaku romantis seperti apa. Ini adalah bentuk kebaikan yang bisa disyiarkan, tapi bukan menjadi tontonan tanpa aturan dan batasan. Kedua, luruskan niat. Jangan sampai terbersit niatan sombong, berbangga-bangga, apalagi untuk menyakiti mereka yang belum berpasangan. Niatkan sekedar berbagi kebahagiaan dan rasa syukur, dan alhamdulillah jika ternyata bisa menjadi dakwah yang menginspirasi pasangan lain agar romantis. Dua hal ini berlaku juga saat kita akan “mengkampanyekan” romantisme di dunia maya atau melalui media sosial.
Pertanyaan : Bagaimana tipsnya agar tetap romantis dalam ibadah dan perjuangan dakwah?
Suami istri harus terus menguatkan komitmen tentang misi membentuk keluarga dkwah, sebagaimana senantiasa kita lantunkan dalam doa kita, yang diajarkan dalam Al-Quran : “Wahai Robb kami, karuniakanlah pada kami dan keturunan kami serta istri-istri kami penyejuk mata kami. Jadikanlah pula kami sebagai imam bagi orang-orang yang bertakwa (QS. Al Furqon:74). Maka pasangan suami istri harus saling menguatkan dan mengingatkan satu sama lain baik dalam hal ibadah maupun dakwah. Dan Alhamdulillah, romantis sama sekali tidak bertentangan dengan keduanya.
Justru di dalam ibadah dan dakwah sekalipun, masih terbuka celah-celah dan peluang untuk tetap romantis. Kita lihat bagaimana RAsulullah SAW memotivasi pasangan suami istri untuk romantis dalam sepertiga malam, beliau bersabda : “Semoga Allah merahmati seorang suami yang bangun di waktu malam lalu shalat dan ia pun membangunkan isterinya lalu sang istri juga shalat. Bila istri tidak mau bangun ia percikkan air ke wajahnya. Semoga Allah merahmati seorang isteri yang bangun di waktu malam lalu ia shalat dan ia pun membangunkan suaminya. Bila si suami enggan untuk bangun ia pun memercikkan air ke wajahnya. (HR Abu Daud). Dalam riwayat yang lain juga dalam kondisi itikaf pun Rasulullah SAW masih berlaku romantis, dimana rambut beliau disisiri oleh Aisyah sang istri tercinta. Beliau juga pernah membaca Al-Quran sambil berbaring di pangkuan Aisyah, saat sang istri sedang haid. Bukan hanya dalam ibadah, tapi juga kita tahu persis bagaimana Rasulullah SAW tetap mengajak istrinya dalam setiap perjalanan jihad fi sabilillah, dengan cara mengundi diantara mereka.
Semua ini menunjukkan dengan jelas bahwa romantis suami istri tidak bertentangan dengan ibadah dan dakwah. Jika pasangan suami istri memahami hal ini, maka langkah berikutnya insya Allah akan lebih mudah. Wallahu a’lam bisshowab
Memang banyak dari kita yang terjebak dengan sebutan dan istilah. Kata romantis misalnya, yang bersumber dari bahasa Prancis maka kemudian diposisikan seolah-olah adalah produk barat dan bertentangan dalam Islam, bahkan hingga menyebutkan Islam sama sekali tidak mengajarkan romantisme.
Hal tersebut kurang tepat, jika kita melihat lebih jauh, romantis ini sejatinya adalah perintah Allah SWT dan teladan dari Rasulullah SAW. Betapa tidak, mari kita lihat surat An-Nisa ayat 19, dimana Allah SWT berfirman : Dan pergauilah mereka (istri-istrimu) secara patut. (QS An Nisa ayat 19). Ibnu Katsir mengartikan ayat di atas dengan : Perbaguslah ucapanmu kepada mereka, juga perbuatanmu dan tampilanmu sejauh daya kemampuanmu, sebagaimana Kalian juga suka jika mereka memperlakukanmu demikian. Jadi jelas dalam hal ini, berlaku romantis adalah perintah Allah SWT.
Kemudian, romantis juga adalah keteladanan dari sang Nabi kepada kita. Beliau bersabda dalam satu hadits : “Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik sikapnya terhadap keluarganya. Dan aku adalah yang terbaik di antara kalian terhadap keluargaku.” (HR Ibnu Majah). Dalam hadist tersebut, tersirat jelas kita diminta mencontoh Rasulullah SAW dalam urusan berbuat dan berlaku baik terhadap keluarga. Rasulullah SAW juga telah menunjukkan banyak kisah terserak tentang romantisme dalam kehidupan rumah tangga nabawi, tentunya untuk kita teladani.
Maka romantis dalam Islam bermakna lebih luas dari apa yang terbetik dalam fikiran banyak orang selama ini. Romantis selama ini dipahami sempit, yaitu hanya sebatas kata-kata puisi cinta penuh rayuan, atau pemberian bunga kepada pasangan, atau temaram lampu lilin saat makan malam berduaan, atau jalan-jalan di tempat. Itu hanya hal-hal teknis saja, pada dasarnya makna romantis dalam Islam adalah upaya untuk berlaku baik kepada pasangan, dengan aneka hal yang dibolehkan dalam syariat.
Pertanyaan : Seberapa penting menjaga romantisme rumah tangga hingga usia senja?
Perlu untuk dicatat, bahwa inspirasi romantis kita adalah manusia termulia, Rasulullah SAW. Dari rumah tangga beliau kita menemukan inspirasi romantis sejati, dan bahkan bisa menambah pahala tersendiri saat menjalankannya dengan niatan mengikuti sunnah nabi. JAdi referensi romantis kita bukan drama korea, film-film india, atau bahkan novel-novel Barat sekalipun. Mereka banyak menyebut kisah “ Romeo dan Juliet” misalnya, sebagai gambaran cinta romantis. Maka dalam hal ini pertanyaannya, apakah keduanya menikah, hidup bahagia beranak pinak dan sukses mendidik anak-anaknya ? Ternyata tidak. Kisah-kisah yang dikatakan romantis di Barat justru banyak menceritakan tentang “kasih tak sampai” karena kematian atau bahkan bunuh diri seperti dalam Romeo dan Juliet.
Maka, jika kita sepakat sumber inspirasi romantis kita adalah rumah tangga Rasulullah SAW, dengan mudah kita bisa menjawab pertanyaan di atas. Karena kenyataannya, episode romantis Rasulullah SAW bersama istri-istri beliau, jusru bukan saat beliau berusia muda, tapi malah usia tua dan sepanjang hidupnya. Sebagai catatan saja, ketika menikah dengan ibunda Aisyah saat usia beliau 52 tahun, dan kita tahu banyak episode romantis beliau dengan ibunda Aisyah bak pasangan muda saja.
Intinya, jika kita melihat romantis sebagai suatu bentuk “ibadah” yang dengannya kita mengharap pahala. Maka romantis harus tetap dijaga hingga akhir usia, meski dalam bentuk yang berbeda-beda eksperessi romantis tiap pasangan.
Pertanyaan : Sebenarnya romantis itu sifat bawaan seseorang atau memang sifat yang harus dibangun?
Banyak memang yang mengasumsikan bahwa wanita lebih romantis, dah lelaki cenderung cuek dan tidak peduli. Apalagi ditambah dengan banyaknya pecinta drama korea saat ini, maka para ibu-ibu cenderung bertambah menuduh sang suami tidak romantis sama sekali.
Pertama sekali yang harus dipahami oleh kedua pasangan,untuk menjadikan romantisme sebagai sebuah “kebiasaan” baik yang bernilai ibadah. Sehingga meskipun sedikit tetap harus diupayakan dan diagendakan. Dalam hal ini kedua pasangan harus saling memotivasi satu sama lain. Seorang suami yang ingin membahagiakan istrinya, pastilah ia akan berusaha dan berupaya untuk lebih romantis dari hari kehari.
Kedua, juga harus dipahami oleh pasangan suami istri. Bahwa ekspressi romantis tidak selalu sama untuk setiap orang. Maka jangan terlalu membuat standar romantis yang bisa jadi tidak semua orang bisa melakukan. Ada yang suka dengan puisi rayuan, ada yang suka dengan bunga, tapi ada juga yang cukup dengan pelukan dan pijatan kasih sayang, bahkan ada juga yang sekedar tatap mata dan tertawa berdua, tiap orang bisa punya cerita yang berbeda.
Tetapi penting juga kita mengetahui aneka romantisme di keluarga Rasulullah SAW, yang banyak sekali dicontohkan. Bisa kita buat list daftar romantisme Rasulullah SAW, yang bisa kita upayakan untuk diwujudkan, tentu dengan niatan mengikuti kebaikan beliau manusia termulai dan teladan kita semua.
Pertanyaan : Bagaimana tentang menampakkan kemesraan di depan umum? Perlukah ini?
Kenapa tidak ? Dalam batas-batas tertentu Rasulullah SAW menampakan aneka aplikasi romantis di hadapan sahabat. Bagaimana beliau lomba berlari bersama ibunda Aisyah, bagaimana beliau mengantarkan Sofiyah pulang saat itikaf, bagaimana beliau menggendong ibunda Aisyah untuk menonton bersama tari-tarian perang ala habsyah di suatu hari raya, bagaimana beliau pernah menolak tawaran jamuan makan saat tidak boleh mengajak Aisyah, dan lain sebagainya.
Tentu dalam praktek kita keseharian, perlu dilihat dua hal : pertama, adab dan kebiasaan di suatu tempat tentu berbeda satu sama lain. Harus dijaga betul, dan kita tentu tahu batas-batas berlaku romantis seperti apa. Ini adalah bentuk kebaikan yang bisa disyiarkan, tapi bukan menjadi tontonan tanpa aturan dan batasan. Kedua, luruskan niat. Jangan sampai terbersit niatan sombong, berbangga-bangga, apalagi untuk menyakiti mereka yang belum berpasangan. Niatkan sekedar berbagi kebahagiaan dan rasa syukur, dan alhamdulillah jika ternyata bisa menjadi dakwah yang menginspirasi pasangan lain agar romantis. Dua hal ini berlaku juga saat kita akan “mengkampanyekan” romantisme di dunia maya atau melalui media sosial.
Pertanyaan : Bagaimana tipsnya agar tetap romantis dalam ibadah dan perjuangan dakwah?
Suami istri harus terus menguatkan komitmen tentang misi membentuk keluarga dkwah, sebagaimana senantiasa kita lantunkan dalam doa kita, yang diajarkan dalam Al-Quran : “Wahai Robb kami, karuniakanlah pada kami dan keturunan kami serta istri-istri kami penyejuk mata kami. Jadikanlah pula kami sebagai imam bagi orang-orang yang bertakwa (QS. Al Furqon:74). Maka pasangan suami istri harus saling menguatkan dan mengingatkan satu sama lain baik dalam hal ibadah maupun dakwah. Dan Alhamdulillah, romantis sama sekali tidak bertentangan dengan keduanya.
Justru di dalam ibadah dan dakwah sekalipun, masih terbuka celah-celah dan peluang untuk tetap romantis. Kita lihat bagaimana RAsulullah SAW memotivasi pasangan suami istri untuk romantis dalam sepertiga malam, beliau bersabda : “Semoga Allah merahmati seorang suami yang bangun di waktu malam lalu shalat dan ia pun membangunkan isterinya lalu sang istri juga shalat. Bila istri tidak mau bangun ia percikkan air ke wajahnya. Semoga Allah merahmati seorang isteri yang bangun di waktu malam lalu ia shalat dan ia pun membangunkan suaminya. Bila si suami enggan untuk bangun ia pun memercikkan air ke wajahnya. (HR Abu Daud). Dalam riwayat yang lain juga dalam kondisi itikaf pun Rasulullah SAW masih berlaku romantis, dimana rambut beliau disisiri oleh Aisyah sang istri tercinta. Beliau juga pernah membaca Al-Quran sambil berbaring di pangkuan Aisyah, saat sang istri sedang haid. Bukan hanya dalam ibadah, tapi juga kita tahu persis bagaimana Rasulullah SAW tetap mengajak istrinya dalam setiap perjalanan jihad fi sabilillah, dengan cara mengundi diantara mereka.
Semua ini menunjukkan dengan jelas bahwa romantis suami istri tidak bertentangan dengan ibadah dan dakwah. Jika pasangan suami istri memahami hal ini, maka langkah berikutnya insya Allah akan lebih mudah. Wallahu a’lam bisshowab
Solo, September 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar