Akhirnya ikut menulis juga soal sholat di rumah. Saya tidak suka berdebat dan sangat menghargai pandangan yang berbeda, bahkan sekalipun itu pendapat yang tidak didukung oleh mayoritas ulama sekalipun. Perlu diketahui sejenak, bahwa fatwa terkait Corona, yang membolehkan bahkan menganjurkan sholat di rumah saja dan tidak menyelenggarakan sholat Jumat adalah fatwa jumhur (mayoritas) ulama kontemporer hari ini. Sebagian besar lembaga fiqih dan fatwa seantero dunia menyebutkan hal ini, diantaranya adalah : Dewan Ulama Tinggi Al-Azhar Syarif di Mesir, Dewan Tinggi Ulama Kerajaan Saudi, Persatuan Ulama Muslimin Internasional, Majlis Fatwa & Penelitian Islam di Eropa, Majlis Tinggi Ilmiah di Maroko, Lembaga Fatwa di Aljazair, Lembaga Fatwa Kuwait, Majlis Fatwa Emirat, Mujamma’ Fiqih Irak, Lembaga Fatwa Yordania, Majlis Fatwa Islam Palestina, dan tentu saja adalah Majlis Ulama Indonesia dengan fatwa bernomor 14/2020 tentang penyelenggaraan ibadah dalam situasi terjadi wabah Covid-19.
Jadi pada dasarnya urusan dalil dan rujukan sudah jelas. Tapi masalahnya tetap saja hari-hari ini ada yang menanyakan dan mengkonfirmasi ke saya via WA tentang pandangan yang berbeda di sana-sini. Sekian tulisan, artikel, video yang semuanya menyisakan perdebatan tanpa ujung, dan semuanya saya yakin insya Allah dengan niatan dan semangat yang sama : cinta masjid, cinta Islam, meski dengan sudut pandang yang berbeda. Maka tulisan ringan ini tidak bermaksud kembali “menumpuk” dalil-dalil yang sudah ada, yang saling bertumpuk di banyak “perdebatan” akhir-akhir ini. Tulisan ini hanya mencoba mengurai suatu realita yang layak direnungkan bagi siapa saja yang ingin lebih berlapang dada terhadap saudaranya.
Renungan Pertama : Tentang Otoritas Masjid dan Ketegasan Pemerintah.
Fatwa MUI sudah cukup jelas mengatur tentang pembagian lokasi atau zona, dimana didaerah yang berbahaya maka dibolehkan tidak sholat Jumat dan diganti dengan zhuhur, bahkan pada daerah yang penyebaran tidak terkendali, umat muslim dilarang menyelenggarakan sholat Jumat hingga kondisi kembali normal. Fatwa MUI ini pun tak kurang didukung oleh banyak ulama dan ustadz melalui statemen-statemen dalam video ceramah, misalnya : Aa Gym, ust Adi Hidayat, Ust Abdusshomad, Qurays Shihab, Buya Yahya, dan yang lainnya.
Begitu pula yang terjadi di daerah-daerah, fatwa ini kemudian dikuatkan secara lebih rinci di daerah masing-masing, seperti Tausiyah MUI Jawa Tengah, MUI Gorontalo, dan Fatwa MUI Sragen, misalnya. Tidak cukup hanya fatwa, beberapa pemerintah daerah termasuk DKI Jakarta, juga memberikan himbauan senada sebagai penguatan, untuk menghindari segala bentuk keramaian dan perkumpulan, termasuk di rumah ibadah.
Namun dengan semua fatwa, tausiyah, dan himbauan di atas, ternyata pada tahapan aplikasi, setiap masjid menjalankan musyawarah takmir dalam menentukan apakah masjid menyelenggarakan sholat Jumat dan Rowatib berjamaah atau tidak. Lebih sempit lagi, terkadang pilihan bergantung dengan kecenderungan imam, takmir masjid, atau tokoh agama yang dituakan. Walhasil, meskipun sama-sama di kota, kecamatan, atau bahkan kelurahan yang jelas-jelas masuk zona merah sekalipun, ada masjid yang “tutup” tidak menyelenggarakan sholat Jumat dan Rowatib berjamaah, dan beberapa puluh meter di sebelahnya ada masjid yang menyelenggarakan kegiatan ibadah seperti biasa.
Fenomena ini bisa kita lihat dari banyak sisi. Salah satunya adalah adanya realitas “otoritas” takmir masjid. Betapa tidak, masjid di masyarakat kita sebagian besar adalah swadaya masyarakat, bahkan ada yang kepemilikannya masih pribadi. Maka jamaah masjid cenderung bersikap “ independen’ dalam banyak hal, semua urusan diselesaikan melalui mekanisme internal. Tentu jauh berbeda dengan kondisi di banyak negara lain, khususnya timur tengah, dimana masjid biasanya adalah “plat merah”, bahkan imam dan muadzin adalah pegawai negara, maka urusan buka tutup operasional masjid tidak menjadi masalah. Bahkan bukan hanya masjid biasa yang ditutup, namun sekelas masjid nabawi yang berlipat keberkahan saja juga ditutup untuk masyarakat umum sholat di dalamnya.
Sementara itu pada sisi yang sama, pemerintah kita juga tidak mampu bersifat tegas dalam urusan sensitif seperti ini. Bukankah sejak awal kita mengenal dalam kaidah “Hukmul Hakim yarfaual-Khilaf”,yaitu bahwa Keputusan pemerintah dalam masalah yang diperselisihkan akan mengangkat perselisihan tersebut.”
Mungkin karena terbiasa ada perbedaan saat hari raya, dimana pemerintah pun cenderung membiarkan, maka begitu pula dalam konteks saat ini, lebih ke himbauan tanpa ketegasan, meskipun di daerah yang sudah rawan sekalipun. Padahal tentu sangat jauh berbeda antara resiko membiarkan perbedaan hari raya, dengan membiarkan masjid satu sama lain berbeda penyikapan meski di daerah yang sama-sama zona merah. Maka pada titik ini, inilah realitas yang harus kita sadari, tentang otoritas takmir masjid dan kekurangtegasan pemerintah dalam wilayah yang memang sensitif seperti ini. Saya yakin akan sedikit berbeda mungkin hasilnya, jika pemerintah tiap kelurahan yang rawan/zona merah misalnya, mengadakan pendekatan persuasif lebih mendalam pada tiap-tiap takmir masjid.
Renungan Kedua : Membandingkan antara Pekerjaan Duniawi dengan Sholat di Masjid
Hal berikutnya yang sering menjadi ganjalan adalah, mereka yang terbiasa ke masjid dan karena kondisi belum bisa sepenuhnya mengkarantina diri di rumah. Mereka ini adalah para jamaah masjid yang masih harus keluar rumah untuk bekerja mencari rizki, baik di pasar, pabrik maupun kantor. Maka ketika ada fatwa untuk tidak sholat di masjid, merekalah yang pertama merasakan pergolakan batin yang amat mendalam. Perasaan meraka tidak “tega” dan malu untuk membiarkan masjid kosong melompong, sementara mereka sendiri masih beraktifitas harian di tempat kerja. Maka secara logika sederhana, untuk mengejar dunia saja mereka masih berani keluar rumah, maka masak urusan sholat berjamaah di masjid yang nota bene lebih dekat dari tempat kerja harus ditinggalkan ?. Maka pergolakan batin inilah yang sebagian besar mengarahkan pada kecenderungan mengikuti pendapat untuk tetap di masjid, meski di zona merah sekalipun.
Sejatinya membandingkan atau menyamakan antara bekerja mencari nafkah dengan sholat berjamaah di masjid dengan alasan sama-sama aktifitas keluar rumah , adalah kurang tepat. Mungkin dari sisi pendekatan logika ushul fiqih mirip dengan istilah “Qiyas ma’al Fariq”, dari banyak sisi. Sisi pertama, sholat berjamaah bisa dilakukan di rumah sementara ada banyak macam pekerjaan yang tidak bisa dilakukan di rumah, misalnya mereka yang berdagang dan di pabrik. Sehingga ketika bicara menghindari bahaya, sholat di rumah jauh lebih wajar karena memang bisa dikerjakan di rumah.
Sisi kedua, dari soal kewajiban dan darurat. Sholat berjamaah menurut jumhur ulama adalah keutamaan, bernilai sunnah, sementara bekerja mencari nafkah pada tingkatan tertentu adalah satu kewajiban, kebutuhan bahkan bisa sampai derajat darurat. Karenanya, dalam kondisi menghindari berbahaya, sholat di rumah tentu jauh lebih memungkinkan untuk dilakukan daripada kemudian seseorang memilih tidak bekerja di luar, sementara kebutuhan sudah sangat darurat untuk menyambungkan hidup keluarga.
Dan terakhir sisi ketiga adalah adalah dari sisi pemberi perintah, antara syariat Islam dan pemberi kerja atau pemilik perusahaan. Sejak awal syariat Islam yang indah tidak menginginkan kesukaran bagi pemeluknya. Allah SWT berfirman : Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” [Al-Baqarah : 185], juga dalam ayat yang lain : “dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” (QS al Hajj 78). Banyak dalil lain yang semakna dengan dua ayat di atas, dan secara sederhana bisa dimaknai, bawa sejak awal Allah SWT sebagai penetap syariat, telah memberikan kelonggaran dalam segala aturan-aturannya. Maka kemudian kita lihat ada namanya rukhsoh (keringanan), ada juga namanya udzur syar’i. Dan ternyata sayangnya, kelonggaran seperti ini tidak selalu kita temukan ada pada aturan perusahaan, pemberi kerja, juragan, bos yang mereka masih “mengikat” sesuai SOP dan Kontrak Kerja bagi para karyawannya untuk tetap bekerja.
Maka dari sisi ini tentu tidak bisa kita bandingkan secara apple to apple. Dimana syariat Islam memberikan ruang keringanan dan permakluman untuk sholat di rumah ketika ada udzur dan sesuatu yang membahayakan, sementara para pemberi kerja, pemilik perusahaan, belum semuanya mampu memberikan kelonggaran yang sama. Lebih aplikatif tentu dalam masalah ini juga soal otoritas, para ulama memberikan fatwa keringanan sholat di rumah, sementara pihak berwenang juga harusnya memberikan imbauan yang sama kepada para pemberi kerja yang lain. Tentu ini bukan hal yang ringan karena terkait naik turun kegiatan perekonomian.
Ketiga : Membandingkan Masjid dengan Tempat Hiburan dan Wisata
Yang menarik lagi adalah ungkapan bernada kesal tentang : mengapa masjid diminta “tutup” sementara tempat-tempat hiburan dan maksiat dibiarkan tetap beroperasi begitu saja. Bukankah disana juga mereka berkumpul satu sama lain dan bisa mengakibatkan penyebaran covid 19 semakin tak terkendali. Sebenarnya ungkapan ini secara aplikasi di lapangan tidak sepenuhnya tepat, karena ada beberapa kepala daerah yang benar-benar tegas menutup tempat-tempat wisata dan hiburan, seperti DKI Jakarta. Namun tentu saja hal ini masih bertahap, karena di daerah lain baru diberikan pembatasan jam buka tutupnya saja.
Jawaban atas hal ini adalah, justru di sini lah membuktikan syariat Islam dan jamaah masjid adalah pelopor keselamatan. Apakah sebagai jamaah masjid yang meyakini bahwa manusia terbaik adalah yang paling bermanfaat bagi yang lainnya, kita mau disamakan dengan mereka yang biasa berkumpul-kumpul di tempat-tempat hiburan dan maksiat ?. Jamaah masjid justru harus membuktikan bahwa mereka yang “peduli dengan urusan kaum muslimin”, maka peduli pula untuk menghentikan penyebaran virus ini di tengah masyarakat, secara aplikatif dengan “mengorbankan diri” tidak beribadah lebih dahulu di masjid. Jika kita niatkan upaya kita untuk tetap diam di rumah sebagai bagian dari memberikan solusi permasalahan umat, maka semoga insya Allah kita tetap bisa mendapat pahala kebaikan melebihi itikaf di masjid nabawi, sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW : Sungguh aku berjalan bersama saudaraku yang muslim untuk sebuah keperluan lebih aku cintai daripada beri’tikaf di masjid ini )masjid Nabawi( selama sebulan penuh (HR. Thobroni dihasankan oleh Syeikh Al-Bani).
Keempat : Antara Tawakkal, Percaya Diri atau Mengingkari Kepakaran ?
Salah satu yang paling awal sering menjadi perbincangan, apakah dengan sholat di rumah berarti kita tidak tawakkal kepada Allah, bahkan lebih jauh lagi kita takut kepada Corona dan tidak takut kepada Allah ?. Maka dalam hal ini sejatinya Rasulullah SAW telah memberikan isyarat agar kita berikhtiyar menjauhi sumber marabahabaya dengan sungguh-sungguh : "Hindarilah orang yang terkena lepra seperti halnya kalian menghindari seekor singa." (HR Bukhori).
Namun konteksnya hari ini sedikit berbeda, karena jika penderita lepra maka akan mudah terdeteksi secara fisik, sementara para pembawa virus covid19 tidak demikian, bahkan ada angka menyebutkan hingga 80% tidak ada gejala fisik, namun masih punya daya penularan dan penyebaran yang sama kuat. Inilah sepertinya “peluang” untuk bertawakkal, karena tidak terlihat dan tidak bisa dipetakan, maka tidak bisa menjadi alasan untuk kemudian menghindari perkumpulan, terlebih ibadah di masjid. Lalu apakah peluang tawakkal ini harus kita jalankan dengan membabi buta dan menutup mata, sementara para pakar kesehatan telah mengingatkan terkait penyebaran virus yang tak kasat mata ini ?. Apakah sesuatu yang tidak kita lihat secara kasat mata, tapi ada orang dan ilmu yang mampu melihat bahaya dan potensi penularannya dengan baik, kita tolak mentah-mentah atas nama tawakkal ?. Jangan-jangan ini lebih berdasarkan pertimbangan “egoisme” pribadi dan menolak kepakaran daripada tawakkal. Semoga tidak demikian.
Terakhir, seringkali kita merasa dalam Islam yang lebih tepat dan benar itu adalah yang seolah terlihat militan nan heroik, seperti tetap mengarungi langkah ke masjid meski sudah difatwakan oleh para ulama dan diingatkan oleh para pakar. Jika kita memiliki pandangan logika seperti itu, bersiap saja untuk kecewa.
Ada tiga sahabat yang penuh semangat, mendatangi istri Rasulullah SAW mencari info tentang ibadah Nabi untuk ditiru. Mereka membayangkan tentu Rasulullah SAW sangat-sangat luar biasa dalam ibadahnya. Ketika diberitahu cara ibadah Rasulullah SAW yang “biasa” dan tidak seperti estimasi mereka, maka mereka mulai mengembangkan logika dan berniat menempuh cara lain. Logika mereka adalah : Rasulullah SAW ibadah seperti itu karena beliau sudah diampuni dosa-dosa, dan dijamin Surga, sementara kita kan belum ada yang menjamin. Atas dasar logika itulah kemudian mereka masing-masing membuat resolusi dalam ibadah. Ada yang bertekad sholat malam terus tanpa tidur, ada yang puasa sepanjang tahun, bahkan ada yang bertekad untuk fokus ibadah dan tidak menikah. Maka segala tekad penuh semangat nan militan ini, justru berakhir setelah Rasulullah SAW justru menolak dengan nada ancaman : “ “Benarkah kalian yang telah berkata begini dan begitu? Demi Allâh! Sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allâh dan paling taqwa kepada-Nya di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku juga berbuka (tidak puasa), aku shalat (malam) dan aku juga tidur, dan aku juga menikahi wanita. Maka, barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku.” Ternyata, pelajarannya adalah sesuatu yang terlihat lebih militan dan lebih semangat, belum tentu adalah bernilai sunnah yang tepat.
Maka akhirnya, sebagaimana disebutkan oleh Ust. Dr. Abdushomad ketika ditanya oleh Aa’ Gym secara online tentang sholat di rumah, beliau menjawab : kita ini sedang berpindah dari satu sunnah yang ke sunnah yang lain. Kita berpindah dari sunnah Rasulullah saat keadaan normal, menuju sunnah dalam kondisi wabah. Sunnah dalam kondisi aman, adalah memakmurkan masjid, sementara sunnah dalam kondisi hari ini adalah lebih mengutamakan keselamatan. Wallahu a’lam bisshowab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar