Beberapa kali saya menempuh perjalanan berjam-jam naik pesawat saat siang Ramadhan, lintas negara dan juga lintas benua. Dilema yang selalu muncul adalah apakah tetap berpuasa atau membatalkan puasa dan berbuka.
Kalau secara syarat fiqih, jarak safar yang 85 km sudah jauh terlampaui.Untuk Taiwan yang terdekat saja sudah tercatat 3.500 km, belum lagi ke Athena yang membutuhkan sampai 13 jam perjalanan dari Jakarta.
Tapi untuk berbuka begitu saja , kadang masih terasa berat untuk dilakukan, karena gambaran di pesawat yang masih cukup nyaman. Kalau perjalanan melelahkan itu sudah pasti, 5 jam lebih tanpa banyak gerak dengan standar kursi kelas ekonomi, tentu akan membuat jiwa petualangku meronta-ronta. Tapi setidaknya untuk sekedar bertahan melanjutkan puasa, hal itu masih bisa di atasi.
Belum lagi kalau masuk bisikan setan soal "pencitraan". Ia seolah berkata bijak: "masak penampilan islami begitu siang-siang Ramadhan kagak puasa, apa gak malu sama jenggot ? ". Gubrak, jenggot tipis begini masih dikomentari aja sama tuh setan.
Bisikan ini ada benarnya juga, kalau saya lihat kanan-kiri rata-rata yang gak puasa ya mereka-mereka yang secara tampilan lahir dimaklumi kalau gak puasa, bisa jadi memang beda keyakinan. Nah kalau tampang sedikit "ngustadz" begini (mau bilang alim takut riya), bukannya akan jadi objek ghibah minimal dalam hati oleh penumpang lainnya. Belum lagi kalau ketemu para aktifis dakwah atau yang pernah ikut pengajian saya, wah bisa turun harga diri saya sebagai seorang ustadz. Masa siang2 Ramadhan gak puasa asyik menyantap makanan ?. Demikian syetan terus komat-kamit membisikan petuah-petuahnya dalam hati.
Hati nurani juga gak mau kalah, dia ikut memberi pilihan sulit : " Hai Hatta, kamu mau lanjut puasa atau berbuka ? kalau kalau mau berbuka karena engkau tipe pemalas, gak mau berjuang, gak semangat ibadah, mending kagak deh. Jangan kamu legalisasi malas mu dengan dalil rukhsoh musafir yaa ... " . Demikian hati nurani turut menasehati dengan bijak.
Sang logika tampaknya ikut berpartisipasi menambah dilema kali itu. Ia memberikan presentasi singkat : Lebih baik lanjut puasa, jauh lebih mudah saat ini karena banyak temennya. Daripadi nanti mengganti di waktu lain, pastinya lebih susah karena yang lain pada gak puasa. Dilema terus bertambah bercampur gundah. Antara ingin tetap puasa sambil berbisik inilah aksi heroik, atau berbuka tapi menuduh diri sendiri malas dan tidak semangat ibadah.
Sampai pada akhirnya, saya mengingat lagi ayat puasa yang berbunyi : Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu, pada hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” [Al-Baqarah/2 : 185]
Ayat ini sudah lama terhafal. Ayat yang bicara tentang "kemudahan" juga sering saya sampaikan dalam kajian. Tapi kali itu saya merasa seolah-olah tertampar, ternyata justru pada ayat puasa lah ditekankan sekali lagi tentang kemudahan dari Allah SWT.
Sungguh rasa dilema itu berubah jadi malu dan haru. Apakah Allah SWT perlu ibadah kita ? Apakah ia menyukai kita tetap heroik berlapar-lapar puasa, sementara tawaran rukhsoh karena kasih sayangnya tiada tara kepada manusia sudah jelas ditawarkan ?. Saya juga segera ingat hadits yang lain, dimana Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya Allah SWT suka ketika rukhshah dari-Nya diambil, sebagaimana Ia membenci tatkala maksiat kepada-Nya dilakukan” (HR. Ahmad).
Saya berfikir sejenak, betapa bodohnya diri ini, bertahun-tahun belajar ilmu syariat ternyata tak mampu menangkap "isyarat" cinta-Nya kepada setiap hambaNya. Kami lebih sering memandang-Nya sebagai Al Aziz Al Jabbar, dan terlupa bahwa Dialah Al-Hakiim (maha bijaksana), Al-Kariim (maha pemurah/ dermawan) dan Al-Mannaan (Maha pemberi).
Maka dilema itu harus saya akhiri, saya tidak ingin menutup mata dengan banyak alasan lalu "menganggurkan" satu ayat yang jelas terpatri memberikan isyarat kemudahan. Malu rasanya diri ini, bersembunyi di alasan heroik penuh semangat, lupa kepada rahmat dan kemurahanNya yang tiada hingga.
Alhamdulillah, lega rasanya. Setelah itu tak berapa lama pramugari datang dengan senyum ramahnya. Belum sempat ia menyapa dan menawarkan sesuatu, saya langsung sampaikan dengan nada tak kalah ramah : " Apple juice, please" ....
Hatta Syamsuddin
kenangan Safari Ramadhan Melbourne 2014, 2017
Kalau secara syarat fiqih, jarak safar yang 85 km sudah jauh terlampaui.Untuk Taiwan yang terdekat saja sudah tercatat 3.500 km, belum lagi ke Athena yang membutuhkan sampai 13 jam perjalanan dari Jakarta.
Tapi untuk berbuka begitu saja , kadang masih terasa berat untuk dilakukan, karena gambaran di pesawat yang masih cukup nyaman. Kalau perjalanan melelahkan itu sudah pasti, 5 jam lebih tanpa banyak gerak dengan standar kursi kelas ekonomi, tentu akan membuat jiwa petualangku meronta-ronta. Tapi setidaknya untuk sekedar bertahan melanjutkan puasa, hal itu masih bisa di atasi.
Belum lagi kalau masuk bisikan setan soal "pencitraan". Ia seolah berkata bijak: "masak penampilan islami begitu siang-siang Ramadhan kagak puasa, apa gak malu sama jenggot ? ". Gubrak, jenggot tipis begini masih dikomentari aja sama tuh setan.
Bisikan ini ada benarnya juga, kalau saya lihat kanan-kiri rata-rata yang gak puasa ya mereka-mereka yang secara tampilan lahir dimaklumi kalau gak puasa, bisa jadi memang beda keyakinan. Nah kalau tampang sedikit "ngustadz" begini (mau bilang alim takut riya), bukannya akan jadi objek ghibah minimal dalam hati oleh penumpang lainnya. Belum lagi kalau ketemu para aktifis dakwah atau yang pernah ikut pengajian saya, wah bisa turun harga diri saya sebagai seorang ustadz. Masa siang2 Ramadhan gak puasa asyik menyantap makanan ?. Demikian syetan terus komat-kamit membisikan petuah-petuahnya dalam hati.
Hati nurani juga gak mau kalah, dia ikut memberi pilihan sulit : " Hai Hatta, kamu mau lanjut puasa atau berbuka ? kalau kalau mau berbuka karena engkau tipe pemalas, gak mau berjuang, gak semangat ibadah, mending kagak deh. Jangan kamu legalisasi malas mu dengan dalil rukhsoh musafir yaa ... " . Demikian hati nurani turut menasehati dengan bijak.
Sang logika tampaknya ikut berpartisipasi menambah dilema kali itu. Ia memberikan presentasi singkat : Lebih baik lanjut puasa, jauh lebih mudah saat ini karena banyak temennya. Daripadi nanti mengganti di waktu lain, pastinya lebih susah karena yang lain pada gak puasa. Dilema terus bertambah bercampur gundah. Antara ingin tetap puasa sambil berbisik inilah aksi heroik, atau berbuka tapi menuduh diri sendiri malas dan tidak semangat ibadah.
Sampai pada akhirnya, saya mengingat lagi ayat puasa yang berbunyi : Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu, pada hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” [Al-Baqarah/2 : 185]
Ayat ini sudah lama terhafal. Ayat yang bicara tentang "kemudahan" juga sering saya sampaikan dalam kajian. Tapi kali itu saya merasa seolah-olah tertampar, ternyata justru pada ayat puasa lah ditekankan sekali lagi tentang kemudahan dari Allah SWT.
Sungguh rasa dilema itu berubah jadi malu dan haru. Apakah Allah SWT perlu ibadah kita ? Apakah ia menyukai kita tetap heroik berlapar-lapar puasa, sementara tawaran rukhsoh karena kasih sayangnya tiada tara kepada manusia sudah jelas ditawarkan ?. Saya juga segera ingat hadits yang lain, dimana Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya Allah SWT suka ketika rukhshah dari-Nya diambil, sebagaimana Ia membenci tatkala maksiat kepada-Nya dilakukan” (HR. Ahmad).
Saya berfikir sejenak, betapa bodohnya diri ini, bertahun-tahun belajar ilmu syariat ternyata tak mampu menangkap "isyarat" cinta-Nya kepada setiap hambaNya. Kami lebih sering memandang-Nya sebagai Al Aziz Al Jabbar, dan terlupa bahwa Dialah Al-Hakiim (maha bijaksana), Al-Kariim (maha pemurah/ dermawan) dan Al-Mannaan (Maha pemberi).
Maka dilema itu harus saya akhiri, saya tidak ingin menutup mata dengan banyak alasan lalu "menganggurkan" satu ayat yang jelas terpatri memberikan isyarat kemudahan. Malu rasanya diri ini, bersembunyi di alasan heroik penuh semangat, lupa kepada rahmat dan kemurahanNya yang tiada hingga.
Alhamdulillah, lega rasanya. Setelah itu tak berapa lama pramugari datang dengan senyum ramahnya. Belum sempat ia menyapa dan menawarkan sesuatu, saya langsung sampaikan dengan nada tak kalah ramah : " Apple juice, please" ....
Hatta Syamsuddin
kenangan Safari Ramadhan Melbourne 2014, 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar