Menuliskan tema poligami itu dilematis. Susah untuk mengaku objektif, karena selalu ada tuduhan subjektif. Jangankan melalui catatan semata, bahkan novel sastra yang indah pun seolah enggan mengabadikan poligami dengan akhir yang bahagia. Sebut saja novel Ketika Cinta Bertasbih, Ayat-ayat cinta, bahkan tidak juga Bayu dan Laras dalam Setitik Kabut Selaksa Cinta, tak ada akhir bahagia dengan dua istri bergandengan tangan kanan dan kiri suami yang mengulas senyum penuh kemenangan. Salah satu harus mengalah atas nama takdir, yang sejatinya ditentukan oleh penulisnya.
Karena itu, ketika saya membuat catatan pra poligami untuk bapak-bapak, banyak kontroversi yang mengikuti. Emak-emak tetap agak curiga meski sudah dibela, sementara bapak-bapak nyinyir memandang terlalu utopis seolah itu sekedar imajinasi penulisnya.
Padahal di akhir catatan, untuk menegaskan sisi objektifitas dalam menulis, dengan berat hati sudah saya deklarasikan bahwa tak ada niatan berpoligami untuk saat ini. Tapi ternyata sekali lagi, ini tema yang memang dilematis. Menggembirakan bapak-bapak dan emak-emak pada satu waktu untuk tema seperti ini adalah sama susahnya dengan menyatukan Sarah dan Zaenab dalam genggaman bang Mandra !
Karena itulah, dengan terpaksa untuk menjaga netralitas dan objektifitas, saya harus tuliskan juga catatan poligami khusus buat emak-emak. Begini ceritanya ….
Jauh berbeda dengan bapak-bapak, tema poligami sangat tidak populer di kalangan emak-emak. Mereka jarang membicarakan hal ini di kalangan mereka, karena takut akan dituduh sang suami tak lagi nyaman dengannya, atau takut dituduh terlalu menderita selama ini, lalu mencari mitra untuk bisa mengalihkan gangguan sang suami sekaligus meringankan penderitaannya.
Apalagi jika tema ini masuk dalam pembicaraan antar suami istri, maka ini jelas akan lebih mengiris hati. Bagi emak-emak, perbincangan tema poligami yang sukses dan bahagia adalah teror paling menakutkan. Sebaliknya, poligami yang kandas dan gagal adalah amunisi yang cukup untuk siap dilontarkan kapan saja sang suami berniat membahas poligami.
Saran saya buat emak-emak adalah sederhana, semakin Anda mengenal suami, maka semakin Anda tahu sejauh mana keberanian dan kemampuannya untuk berbagi, seharusnya. Jadi kalau Anda yakin suami Anda sejatinya tak hendak poligami, entah karena alasan terlalu setia dan tak ingin menyakiti, atau memang hanya “jago kandang” padahal kemampuan sudah berbilang, maka biarkan saja kalau si Dia membuka tema tentang poligami, anggap saja dia sekedar menunjukkan eksistensi sebagai laki-laki yang berlimpah kasing sayang, dan dia ingin menunjukkan kepada Anda bahwa sebenarnya dia mampu atau ingin poligami, tapi Anda adalah pilihan terbaik dalam kehidupannya yang tak layak disakiti apalagi diduakan.
Tapi kalau memang harus ada tema poligami yang dibicarakan antara emak-emak, atau antara suami istri, begini saran dan catatan sederhana dari saya :
Pertama, Poligami bagi lelaki jelas tidak perlu izin istri, mertua, ayah ibu, saudara, keponakan, dan handai taulan yang lainnya. Aturan syariah tidak mensyaratkan ada ijin bagi laki-laki sebelum pernikahan, tidak perlu ijin prinsip (menikah lagi), apalagi ijin gangguan (nafkah), dan tidak juga ijin mendirikan bangunan (cabang kebahagiaan) , apalagi ijin sertifikat kelaikan fungsi dan P-IRT. Jadi buat emak-emak, tidak perlu mengungkit dan membesarkan soal ini. Karena sejatinya jika pun ada syarat ijin, maka istri mana yang akan mengijinkan kecuali cuma sedikit yang memang Allah SWT berikan anugerah tersendiri ? Jadi jangan fokus soal ijin.
Tapi Anda memang layak kecewa ketika suami Anda telah berpoligami dan tak jua jujur meng-update statusnya di hadapan Anda. Bisa jadi itu karena suami Anda terlalu sayang pada Anda dan tak ingin Anda tersakiti, atau bisa juga karena sejatinya dia tak memiliki DNA ksatria dan memilih zona nyamannya sendiri, sehingga tak jujur saat berbagi.
Kedua, Poligami bukan berarti harus dengan janda tua atau bahkan nenek-nenek ceria. Salah satu hal yang membuat para emak-emak meradang adalah ketika ada suami yang menikah lagi dengan gadis manis atau janda muda nan jelita. Dalam benak mereka inilah genderang dimulainya perang kompetisi sesungguhnya. Tuduhan yang kemudian dikembangkan adalah sang wanita adalah pelakor yang menggoda, sementara sang suami adalah buaya mata keranjang. Lain cerita jika yang dinikahi adalah janda tua dengan penampilan bersahaja, para emak-emak dengan terpaksa diam mengamini dan memaklumi bagaikan ibu-ibu majlis taklim yang diam tertunduk saat mamah dedeh mulai emosi. Sang suami pun terselamatkan dari tuduhan mata keranjang.
Alasan historis yang paling dikemukakan emak-emak soal ini adalah karena Rasulullah SAW telah memberikan keteladanan begitu jelasnya, bahwa semua istri beliau dinikahi dalam keadaan sudah menjanda, kecuali hanya Aisyah binti Abu Bakar seorang saja. Begitu mendengar kata janda seolah yang terlintas adalah wanita berusia tua, bahkan diidentikkan dengan nenek-nenek. Maka kisah ini seolah jadi legitimasi untuk memberikan syarat bagi para suami, silahkan poligami asal dengan janda tua. Entah apa yang ada dibayangan para emak-emak, tega dan puaskah mereka melihat suami bersanding dengan wanita berusia tua. Poligami ini adalah pernikahan normal yang juga harus ada unsur “mawaddah” cinta dan gairah fisik, bukan sekedar “rohmah” semata. Poligami juga pernikahan yang harus membangun rumah cinta, bukan panti jompo penampungan para lansia. Sungguh teganya ….
Belum lagi kalau kita melihat sejarah lebih rinci, maka sejatinya istri-istri Rasulullah SAW dinikahi dalam usia yang relatif muda, meski telah menjanda. Hanya satu istri beliau yang dinikahi benar-benar dalam usia tua, yaitu Saudah binti Zamah yang kala itu dinikahi pada usia 66 tahun. Sementara yang lainnya ? Khadijah binti Khuwailid dinikahi pada usia 40 tahun, Hafsah binti Umar pada 21 tahun, Zainab binti Khuzaimah pada usia 30 tahun, Ummu Salamah Hindun binti Abi Umayyah pada usia 27 tahun, Zainab binti Jahs pada usia 37 tahun, Juwairiyah binti Harits pada usia 15 tahun, Ummu Habibah pada usia 42 tahun, Shofiyah binti Huyai pada usia 17 tahun. Maimunah binti Harits pada usia 27 tahun. Perlu dicatat, data ini valid dari situs fatwa.islamweb yang notabene adalah situs fatwa resmi kementrian agama Qatar.
Ketiga, sebagian emak-emak mulai berlapang dada dengan menyetujui poligami sebagai langkah penyelamatan, mungkin sebagian masih dengan catatan asal bukan suaminya sendiri. Memang ada emak-emak berlimpah kasih sayang yang perhatian dan peduli dengan kaumnya, mungkin dalam hal ini teman atau sahabatnya sendiri yang berstatus janda banyak anak misalnya.
Rasa kasihan melihat masa depan ibu dan anak menjadi pertimbangan tersendiri bagi para emak-emak untuk mulai membuka peluang berbagi. Maka terkadang mereka mencoba mengusulkan semacam “operasi penyelamatan”, menawarkan kepada para suami atau bapak-bapak yang terlihat siap untuk berpoligami. Okelah, jika ada yang siap dan berminat mengapa tidak ?
Tapi kenyataan tak seindah harapan. Jika para suami atau bapak-bapak memang tak siap dan tak kehendak, apakah harus dipaksa bak siti Nurbaya ? Sementara di sisi lain, bagi pihak wanita juga belum tentu mau dinikahi dengan motif belas kasihan dan penyelamatan.
Lalu bagaimana solusinya ? Sederhana, jangan tawarkan kepada bapak-bapak lain yang Anda belum tahu dan belum memahami sepenuhnya sifat, kemampuan, dan kesungguhannya dalam berpoligami. Mulailah saja tawarkan pada suami Anda sendiri, berikan kepercayaan dan dorongan untuk berpoligami sepenuh hati, agar suami Anda benar-benar percaya bahwa dia tidak sedang bermimpi di siang bolong. Buat juga promosi tentang sang calon dengan jujur, objektif tetapi meyakinkan, siapa tahu suami Anda akan berubah niatan, dari awalnya kasihan semata kemudian berubah menjadi bersemangat penuh hasrat ala Don juan !! Selamat ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar