Kalau kita punya anak gadis yang tengah menanti jodohnya, tentu wajar sebagai orangtua kita turut berpartisipasi melakukan proses rekrutmen dan screening calon menantu meski tidak secara formal. Dan proses ini terkadang terjadi begitu saja tanpa kesengajaan. Banyak sudah yang “menemukan” menantu di pojok masjid saat itikaf, dalam perjalanan angkutan umum saat kursi bersandingan, atau bahkan saat umroh di tanah suci. Yang terakhir ini biasanya jadi ustadz pembimbing, karena pertanyaan pertama para jamaah emak-emak saat ketemu biasanya standar : “ ustadz, sudah nikah apa belum ?”. Belum pernah sejauh ini pertanyaan yang bernada: “ ustadz, putri saya siap jadi yang kedua …. “. Ini bukan ngarep.
Biasanya semua itu berawal dari kesan pertama yang begitu menggoda. Kebaikan itu memang mudah menggetarkan dan menggoyahkan hati siapa saja, apalagi emak-emak penyuka drama korea dan film India. Hati siapa tak bergetar melihat ada pemuda menyeberangkan seorang nenek-nenek dengan aksi yang bahkan melebihi seorang polisi lalu lintas ?. Perasaan siapa yang tak trenyuh saat melihat anak muda menawarkan bangkunya di bus kota pada seorang wanita hamil atau lansia, sementara banyak yang lainnya tak peduli pura-pura sibuk dengan gadgetnya ?.
Kalau kita termasuk kelompok yang cepat simpati dengan momentum-momentum kebaikan di hadapan mata, lalu menjadikan sebagai salah satu pertimbangan dalam proses seleksi calon menantu, kita jelas tidak salah. Jauh sebelum ada drama korea menggurita, sejarah indah semacam itu telah tertuang indah di dalam Al-Quran. Ingatkah kita bagaimana seorang pemuda Musa yang tak tega melihat dua gadis dalam kerumunan antrian orang-orang untuk menimba air dalam sumur. Dua gadis itu tentu kesusahan berebutan dan tak nyaman berdekat-dekatan dengan kaum laki-laki nan kuat dan kasar.
Maka tampilah Musa menolong mereka mengambilkan air dari sumur, lalu kemudian berlanjut dengan panggilan fit and proper test dari ayah kedua gadis tersebut. Setelah dipastikan pemuda itu benar-benar memiliki dua karakter menantu idaman : al-qowiyyu (kapabilitas) dan al-amiin (kredibilitas) sebagaimana diinfokan oleh anak gadisnya, maka diberikanlah tawaran menjadikan Musa sebagai menantu. Dan bukan sekedar tawaran menikahi anak gadisnya semata, tetapi juga tawaran ikatan kerjasama dalam proyek pertanian berdurasi panjang : delapan tahunan. Paket komplit yang luar biasa, impian para jomblo di seluruh dunia.
Syeikh Ali At-Tantowi dalam Tafsir al-Wasithnya menyebutkan komentar Imam Asy-Syaukani terkait ayat 26-27 surat Al-Qoshos tentang kisah di atas : pada ayat ini mengadung disyariatkannya seorang wali (ayah) si gadis untuk menawarkan putrinya pada seorang laki-laki (sholih), sebagaimana terjadi juga bagaimana Umar bin Khottob menawarkan Hafshah kepada Abu Bakar dan Utsman bin Affan.
Jadi sebagai orangtua, wajar sekali kan kalau kita juga mencoba melakukan fit and proper test kepada siapa saja lelaki sholeh yang masuk kriteria menantu idaman. Tetapi jangan juga cepat mengambil kesimpulan bahwa proses itu harus melalui momentum-momentum kebaikan yang terjadi begitu saja dihadapan mata kita. Karena sejatinya, bahwa laki-laki secara umum memang punya semacam “heroisme” untuk menolong mereka yang tampak lemah. Ada semacam gengsi terpatri kalau membiarkan suatu kelemahan atau penderitaan tanpa berusaha membantu. Di barat saja sampai ada ungkapan “ ladies first” dan etika mendahulukan perempuan masuk ruangan, atau juga membukakan pintu mobil bagi para wanita. Artinya, kebaikan nan heroik tadi sebenarnya wajar dilakukan oleh pria manapun, yang faham hakikat nya sebagai lelaki. Belum cukup untuk sekedar syarat menjadi menantu.
Anda tentu masih ingat bagaimana sosok Utsman bin Tholhah, sang juru kunci Ka’bah. Sebelum berislam pun telah melakukan hal yang “heroik” sebagai laki-laki. Dia masih kafir dan mendapati Ummu Salamah di Tan’im hendak berhijrah ke Madinah hanya berdua saja dengan anak balitanya. Maka Utsman bin Tholhah mengatakan : “ “Demi Allah, kau tak pantas dibiarkan sendiri.”. Maka ia pun menemani Ummu Salamah dan anaknya menyusuri gurun pasir Mekkah-Madinah sejauh ratusan kilo, dengan menerapkan standar pengawalan yang ketat lagi terhormat. Hingga setelah memasuki kampung Bani Amr bin Auf Quba, Utsman mengatakan : “Suamimu berada di kampung ini. Masukilah dengan berkah dari Allah.” Lalu dengan santainya Utsman bin Tholhah cabut kembali pulang ke Mekkah, tanpa berpesan untuk dikasih testimoni bintang lima. Mantap bukan ?
Begitu pula dengan Shofwan bin Muathhol, yang berjalan di barisan paling belakang saat kepulangan dari ekspedisi Bani Musthaliq, ia menemukan ibunda Aisyah tertinggal dari pasukan, maka segera ia menerapkan standar evakuasi yang terhormat sampai bergabung kembali dengan pasukannya. Ia melakukan hal tersebut sebagai sebuah kewajaran, sudah SOP standar sebagai prajurit untuk menjaga keluarga panglimanya. Hanya saja momentum yang ‘biasa” saja ini kemudian digoreng oleh buzzer-buzzer munafiqin Madinah hingga menjadi kisah hoax viral yang diabadikan dalam sejarah sebagai Haditsul Ifki.
Kesimpulan sederhananya apa ? Bahwa para pria sudah menjadi fitrahnya untuk melindungi dan membantu kaum lainnya yang mungkin terlihat perlu bantuan atau pertolongan. Jadi tidak perlu Anda para wanita, emak-emak yang cari menantu, atau gadis muda yang menanti jodohnya, harus ambil pusing dan baperan saat ada “pahlawan-pahlawan” berlalu lalang di jalanan, baik menawarkan bangku di bus kota, menyeberangkan di jalanan yang padat, mengambilkan tas koper berat dari atas kabin, dan sebagainya, anggap saja dia tengah menjalankan fitrah sebagai laki-laki. Biarlah momentum itu tetap menjadi hal yang terlihat “heroik” semata, tidak perlu dilanjutkan menjadi fase “romantis” bak drama korea dan film India.
Ini juga berlaku jika para suami terlihat bersemangat membantu anak-anak yatim yang masih kecil. Yakin dan tenanglah wahai para istri, bahwa itu bagian dari fitrah kasih sayangnya yang tinggi sebagai laki-laki, jangan curiga bahwa suami Anda ada modus dengan ibu dari anak-anak yatim tersebut. Kecuali kalau memang wanita itu adalah alumni hati alias mantan terindahnya, maka Anda harus mulai menata hati untuk siap berbagi sekaligus berkompetisi. #eeh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar