Niat awalnya menulis soal ini pada tanggal
18 Desember lalu, secara momentum bersamaan dengan peringatan Hari Bahasa Arab
Internasional. Namun apa daya tertunda entah karena kesibukan atau sederet
alasan lainnya. Yang jelas terngiang lagi untuk menulis soal ini, setelah
kemarin sore ada tamu datang ke rumah bersama sang putra, untuk meminta nasehat
dan motivasi seputar belajar bahasa arab, ilmu syariah dan kuliah di luar
negeri.
Judul di atas jelas hanya soal klik bait,
bukan kesimpulan. Agar pembaca tertarik untuk membaca lebih lanjut. Karena sejatinya
pasti secara makna debatable dan akan banyak protes, mengingat banyak yang
sudah “berguguran” di jalan belajar bahasa Arab, keluar masuk aneka kursus dan
komunitas, ternyata belum sesuai harapan.
Jadi tulisan ini hanya sejenak mengenang
bagaimana dulu proses pembelajaran bahasa Arab saya, yang tentu saja sampai
saat ini masih terus belajar. Setidaknya sampai saat ini saya masih asyik menyimak
pembelajaran bahasa arab dari ustadz Ahmad Ridho Hasyim di channel youtube
Mahad al-Ilmu Nuurun, diantaranya mengkaji Kitab Tuhfatus Saniyah Syarh Matan
Jurumiyah dan juga Kitab Balaghoh Wadhihah. Beliau menjelaskan yang terlihat
rumit dengan cara yang bernas, jelas nan cerdas.
Tulisan ini hanya sekedar berbagi inspirasi
dan motivasi, khususnya siapa saja yang hampir menyerah belajar bahasa arab,
bahwa masih ada jalan dan harapan terbentang insya Allah. Betapa tidak, saya
pribadi sampai lulus SMA hanya mengenal bahasa Arab sebatas : afwan, syukron,
dan uhibbuki fillah ……#hadeh. Karena
memang sejak SD, SMP hingga SMA saya menempuh pembelajaran umum. Jangankan mondok,
pesantren kilat pun malah cuma jadi panitia. Maka jangankan mahir bahasa Arab,
bahasa Inggris yang diajarkan sejak SMP pun tidak jelas sisanya kemana.
Awal belajar bahasa Arab adalah saat masih
menjadi mahasiswa di STAN Jurangmangu. Ketika itu belajar benar-benar dari awal
saja, hanya beberapa orang saja di bawah asuhan ustadz Abdul Hakim, tempatnya
di kantor Darut Tauhid depan Bintaro Plasa. Belajar waktu itu menggunakan kitab
Al-Muyassar fi Ilmi Nahwi, karangan KH. Aceng Zakaria. Ketika itu saya diajak
abang saya, dan kalau tidak salah ada juga mas Sabeth Abilawa dan kang Hari
Sanusi turut belajar bersama.
Ketika pembelajaran awal tersendat karena
kesibukan ustadznya, sementara hati sudah mulai tertarik dan penasaran untuk
belajar bahasa Arab. Maka saya ikut kursus bahasa arab yang lagi viral saat itu
yaitu PBAT (Program Bahasa Arab Terpadu), ambil kelas di Al Hikmah Bangka dan
diajari oleh ustadz Musbihin dan tentu saja mudirnya, beliau Dr. Sofwan Jauhari
yang sekarang menjadi pakar MLM dan Pasar Modal Syariah. Jadi pagi hari saya kuliah
di STAN Jurangmangu, lalu siang harinya sepekan dua kali saya segera otw ke daerah
Mampang, tentu saja masih setia dengan kopaja 613 sebagai angkutan utama menuju
Blok M nya.
Karena rasa tertarik untuk mempelajari
bahasa Arab dan Ilmu Syariah semakin kuat, maka saya merasa belajar sepekan dua
kali dengan waktu yang sangat singkat sekitar 2 jam saja, terasa kurang. Maklum
semangat muda, impian untuk serius belajar bahasa Arab dan bahkan belajar ke
timur tengah mulai membahana dalam jiwa (ealaah), dan puncaknya saya memutuskan
untuk keluar dari STAN agar bisa mencari pembelajaran bahasa Arab yang intensif,
sebagai modal mendaftar ke LIPIA atau ke timur tengah.
Akhirnya pilihan untuk belajar bahasa Arab
lebih intensif ada di Mahad Al Manar, kawasan Utan Kayu Jakarta Timur. Model
pembelajaran baik waktu maupun referensinya mirip di LIPIA, yaitu belajar
intensif Senin sampai Jumat jam 07.00-12.00, menggunakan paduan antara kitab
Arobiyatu Linnasyi’in dan Silsiah Taklim Lughoh Arobiyah. Bisa dibayangkan,
ketika itu saya masih kost di Pondok Jaya Bintaro Jaya, dan jam 07.00 pagi
harus udah siap stand by di kampus al Manar Utan Kayu. Maka yang terjadi setiap
shubuh di masjid saya sudah siap semuanya, selesai salam langsung meluncur mengejar
Kopaja 613 ke Blok M dan lanjut P57 arah Pulogadung. Agenda matsurotan campur
ngantuk menjadi rutinitas pagi hari membelah jalanan ibukota, demi belajar
bahasa arab tercinta he2. Di Almanar,
mendapat bimbingan para ustadz yang ramah nan ceria, beliau ustadz Ahmad Syazali,
ustd Junaedi, dan banyak ustadz yang lainnya. Di sela belajar bahasa Arab di Al
Manar, turut juga mengkaji kitab Nahwu Wadhih dibawah bimbingan ustadz Mahrus
Abdurrohim, melalui program khusus sekian pertemuan yang alhamdulillah, tuntas.
Di Almanar saat semester kedua kalau tidak
salah, dibuka pendaftaran LIPIA. Saya mendaftar program Idad Lughowy, dimana
saingan tentu paling banyak dan sejak dulu sudah dikenal masuk LIPIA itu susah,
jangankan yang baru belajar bahasa Arab, yang sejak kecil mondok pun belum
tentu sukses di terima. Karena itu, saya ikut program persiapan tes masuk LIPIA
selama sepekan kalau tidak salah, yang ketika itu diselenggarakan oleh FAMILY, organisasi
mahasiswa LIPIA Jawa Tengah dan bertempat di Ma’ahid Kudus. Sadar akan kekurangan
sebagai newbie dalam bahasa Arab maka saya fokus menyiapkan tes masuk bahasa
arab di LIPIA dengan sungguh-sungguh, apalagi saat itu mengingat saya sudah ‘status
quo”, status sebagai mahasiswa STAN sudah saya tinggalkan, dan harapannya
sebagai gantinya harus jadi mahasiswa LIPIA.
Dan alhamdulillah akhirnya saya diterima di
LIPIA Program Bahasa Arab, disaat banyak mahasiswa semester akhir di AlManar
yang belum berhasil diterima. Kisah belajar di LIPIA tentu perlu dituliskan
secara tersendiri mengingat banyak suka dukanya he2. Yang jelas bersyukur
mendapatkan bimbingan dari Ustadz Farhan yang dikemudian hari ternyata menjadi
mitra mengajar bahasa arab di Mahad Abubakar UMS Surakarta.
Satu tahun di LIPIA berkesempatan mendaftar
kuliah ke Sudan. Ujian seleksinya diselenggarakan di Kedutaan Besar Sudan,
meliputi tes tertulis dan tes wawancara. Sang penguji tes wawancara tidak lain
dan tidak bukan adalah Dr. Muhammad Thoyyib, yang sehari-hari mengajar kami di
LIPIA. Maka saat tes wawancara secara berkelompok 3-4 orang untuk efektifitas,
lain semua ditanya saya didiamkan saja. Hanya kalau ada pertanyaan yang
terlewat oleh peserta lainnya, saya yang diminta menjawab. Ketika saya tanya : “
ustadz kenapa saya gak ditanya ? “. Beliau menjawab sambil tersenyum : “ saya
ngajar kamu setiap hari, saya tahu kemampuanmu “. Dan alhamdulillah lolos ke Sudan ……
Di Sudan saya langsung masuk perkuliahan
Syariah, sehingga porsi mata kuliah bahasa Arab sangat sedikit. Tentu hal
berbeda dengan teman-teman mahasiswa LIPIA, yang berkesempatan belajar bahasa Arab
sangat mendalam dari mulai I’dad, Takmili bahkan sampai di Syariah pun harus
merampungkan kitab Audhohul Masalik Ila Alfiyah Ibn Malik. Satu-satunya yang masih
menyisakan harapan bahwa usaha belajar bahasa arab saya tidak sia-sia, adalah
karena berkesempatan mendapatkan nilai Mumtaz baik saat semester pertama,
maupun saat keluar dan tertuang di ijazah kelulusan S1 Syariah di Sudan.
Pulang ke Indonesia, tidak berapa lama,
justru kemudian menjadi guru bahasa Arab di Mahad Abu Bakar UMS selama tiga
tahun lamanya 2008-2011. Maka mau tidak mau, suka tidak suka, kembali menekuni
soal pembelajaran bahasa Arab, bahkan ketika ada Program Takmili dan sempat
ikut mengajar. Maka “terpaksa” memberanikan diri membaca dan mempelajari
kitab-kitab bahasa Arab yang lebih berat untuk kemudian diajarkan di program Takmily.
Dan, setiap kali memulai awal perkuliahan di Mahad Abu Bakar, saya selalu
sampaikan kepada para mahasiswa : “ Bahasa Arab itu mudah, tapi mempelajarinya
membutuhkan kesabaran, nah Sabar itu yang susah ….. “
Tidak ada komentar:
Posting Komentar