Karena semua kelemahan itulah, sejatinya
yang dituntut bagi seorang muslim paling utama adalah menjalankan yang wajib
semata. Namun meski hanya terlihat standar minimalis, ternyata itu mendatangkan
kecintaan Allah SWT. Sebuah hadits Qudsi menegaskan hal ini, dimana Allah SWT
menyatakan : “Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang
paling Aku cintai selain apa yang Aku wajibkan baginya" (HR.Bukhori).
Karena itulah, jangan sampai kita
meremehkan seseorang yang terlihat mungkin tidak aktif dalam hal yang sunnah,
namun mencukupkan diri dengan yang wajib semata. Buat apa kita meremehkan
mereka yang mengambil jalan yang terlihat minimalis ini, sementara justru Allah
SWT mencintainya dan bahkan Rasulullah SAW menjaminnya dengan surga.
Dari Jabir bin Abdullah Al Anshary
radhiyallahu ‘anhuma, bahwa seseorang pernah bertanya kepada Rasulullah dengan
berkata, “Bagaimana pendapatmu jika saya melaksanakan shalat yang wajib,
berpuasa Ramadhan, menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram, lalu
saya tidak menambah lagi sedikit pun, apakah saya akan masuk surga?” Beliau
menjawab, Ya.” (HR. Muslim).
Jika mereka yang memilih menjalankan
kewajiban saja tidak boleh kita nyinyiri dan remehkan, maka apalagi mereka yang
memilih menambahkan amalan sunnah yang berbeda dengan yang kita pilih ?. Karena
sesungguhnya sekali lagi, setiap orang punya keterbatasan, kelemahan sehingga
tidak bisa kemudian bersemangat dalam menjalankan semua amalan sunnah.
Tidak diragukan lagi bahwa memperbanyak
amalan sunnah tentu adalah sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT, yang
bahkan bisa menjadikan seseorang menjadi waliyullah, dalam arti seorang yang
dicintai oleh Allah SWT, sebagimana firman-Nya dalam hadits qudsi : “Tidaklah Hamba-Ku
senantiasa mendekat diri kepada-Ku dengan amalan sunnah sehingga Aku
mencintainya” (HR. Bukhori)
Mungkin kita segera bertanya, untuk
mendapatkan kecintaan Allah SWT secara lebih cepat dan efektif, harus dicari
amalan sunnah terbaik setelah yang wajib. Namun sayangnya tetap saja soal ini
menjadi perbedaan di antara ulama, dan ujung-ujungnya amalan terbaik pada
setiap orang bisa berbeda tergantung kondisi dan situasinya. Inilah yang dijelaskan
begitu gamblang oleh Ibnu Taimiyah dengan menyatakan :
“ Masalah ini (amal sunnah terbaik) bisa
berbeda dengan perbedaan orang dan perbedaan kondisi. Tiga hal ini : Sholat,
Ilmi dan Jihad, adalah amal yang paling utama secara ijma (kesepakatan) umat,
Imam Ahmad menyatakan amalan tathowwu’ yang paling afdhol adalah Jihad, Imam Syafii
mengatakan : Sholat (sunnah), dan Abu Hanifah dan Malik mengatakan : Ilmu”. (
Dalam riwayat lain imam Syafii mengatakan ilmu adalah amalan terbaik setelah
yang wajib ). Lalu Ibnu Taimiyah menambahkan : Bahwa sejatinya sesuatu ini bisa
lebih utama pada satu waktu, dan pada waktu yang lain ada hal lain yang lebih
utama. Inilah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para penggantinya, mereka
melakukan hal ini, dan terkadang hal lain, semua sesuai kondisi berdasarkan
kebutuhan dan maslahatnya.” (Minhajus Sunnah)
Maka dengan ini sejatinya setiap orang bisa
berbeda dalam memilih “jalan ninja” untuk menjadi wali dalam arti mendapatkan
kecintaan Allah SWT. Dan tentu saja biasanya jalan yang dipilih adalah yang
sesuai dengan kebiasaan dan pembawaan masing-masing. Dalam hal ini kita bisa
mengingat inspirasi dari firman Allah SWT : “Katakanlah: "Tiap-tiap
orang berbuat menurut keadaannya masing-masing". (QS Al Isra 84)
. Disebutkan dalam tafsir ringkas Kemenag RI, maknanya yaitu : “Katakanlah
wahai nabi Muhammad, setiap orang berbuat sesuai dengan keadaannya
masing-masing, yakni sesuai pembawaannya, caranya dan kecenderungannya dalam
mencari petunjuk dan menempuh jalan menuju kebenaran.”
Maka disinilah kita bisa menemukan,
ternyata banyak inspirasi keteladanan generasi salaf yang mungkin sesuai dengan
kecenderungan kita untuk kita pilih jadi “jalan ninja” kita, dan yang
terpenting tentunya adalah agar kita tidak meremehkan mereka yang memilih jalan
taqorrub yang berbeda dengan kita.
Ibnu Mas'ud RA, misalnya, sahabat utama
yang tidak diragukan komitmennya, suatu ketika pernah ditanya mengapa jarang
menjalankan puasa sunnah. Maka beliau dengan percaya diri mengatakan :
"Jika aku berpuasa sunnah aku tidak bisa memperbanyak sholat sunnah.
Padahal aku lebih memilih memperbanyak sholat sunnah dibandingkan puasa sunnah
". (Mukhtasar Minhaj Al-Qashidin)
Kisah Imam Malik berbeda lagi, dalam kitab
Syiar A’laam Nubala dikisahkan bahwa Abudllah Al Umari seorang ahli ibadah
berkirim surat kepada Imam Malik, menasehati dan memotivasinya untuk uzlah dan
sibuk ibadah, daripada sibuk mengajarkan hadits sebagaimana telah ia lakukan sepanjang
waktu.
Maka dengan bijak Imam Malik menjelaskan
melalui balasan suratnya : ‘Sungguh Allah itu membagi amal [baca: amal sunnah]
sebagaimana Dia membagi rezki diantara hamba-hamba-Nya. Ada orang yang
dimudahkan untuk rajin shalat namun tidak dimudahkan untuk rajin puasa sunnah.
Orang kedua dimudahkan untuk ringan berinfak namun tidak dimudahkan untuk rajin
berpuasa sunnah. Orang ketiga diringankan untuk berjihad. Dan adapun mengajarkan
ilmu agama (bagiku) termasuk amal yang paling utama. Aku rela dengan kemudahan
yang Allah berikan kepadaku. Aku tidaklah beranggapan bahwa amal yang menjadi
kesibukanku tingkatannya lebih rendah dibandingkan amal yang menjadi
kesibukanmu. Aku berharap kita semua dalam kebaikan.” (Syiar A’lam Nubala)
Dari kisah imam Malik kita mendapatkan
pelajaran besar, jangan sampai kita meremehkan apalagi nyinyir kepada orang
lain yang mungkin tidak terlalu semangat menjalankan amalan sunnah yang kita
jalankan, karena bisa jadi ia memiliki prioritas amalan sunnah lain yang sesuai
dengan kondisinya.
Jika kita sedang puasa sunnah misalnya,
lalu banyak sahabat kita yang terlihat tidak pernah puasa sunnah, maka jangan
sesekali terlintas godaan syetan untuk meremehkan, bisa jadi ia adalah pakar sedekah
yang justru memilih untuk mentraktir hidangan berbuka bagi temannya yang berpuasa.
Bukankah akan lebih berlipat-lipat jadinya.
Bagi para penggemar kuliner, mungkin bisa
menjadi salah satu jalan ninja untuk meraih pahala dengan gemar mengajak
sahabatnya kulineran bersama. Dalam
kitab Ihya Ulumuddin disebutkan ungkapan Ali bin Abi Tholib RA : “Aku mengumpulkan
saudara-saudaraku dalam satu “porsi besar” makanan, sungguh lebih aku sukai
daripada memerdekakan seorang budak.”
Mau jalan menjadi wali yang agak berbeda ? Yang ini sering disebutkan oleh Gus Baha, yaitu jalur “bojo galak”, dengan cara bersabar atas segala keburukan perangai sang istri. Dan ini tidak tanggung-tanggung, sudah ditulis satu kitab khusus berbahasa arab yang membahas tentang “ Kisah para Ulama yang istrinya Berperangai Buruk”. Anda tertarik menempuh jalur ini ? Saya akan tuliskan secara khusus jika banyak yang berminat. #Eeh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar