Hal ini bisa kita lihat sekilas dalam fenomena antara zakat dan umroh atau haji misalnya. Ibadah umroh dan haji sangat disukai di negeri ini, animo masyarakat cukup kuat terbukti dari antrian pemberangkatan haji yang bisa mencapai 20-an tahun lebih, belum lagi pemberangkatan umroh yang dalam situasi normal sebelum pandemi, bisa mencapai ribuan jamaah perhari. Namun antusiasme ini belum kita dapatkan soal pembayaran zakat. Potensi zakat di negeri ini yang sejak tahun 2011 pernah diteliti baik oleh IDB, IPB maupun Baznas, menghasilkan angka potensi zakat 217 T pertahun, ternyata pada kenyataan di lapangan, yang benar-benar terserap masih sangat jauh dari harapan, hanya kisaran 2-5% saja. Tentu ada banyak analisa terkait sebab belum optimalnya zakat di negeri ini, namun salah satunya bisa jadi berawal dari pandangan yang beredar di masyarakat, yang lebih memilih ibadah ritual daripada ibadah sosial, berbagi dan peduli.
Gambaran yang sama bisa kita lihat dari cara masyarakat kita menyambut Idul Fitri dan Idul Adha. Keduanya adalah hari raya yang setara dalam Islam, dimana kita sama-sama diperintahkan untuk mensyiarkannya sepenuh hati. Anas bin Malik ra meriwayatkan: “ kami diperintahkan oleh Rasulullah SAW pada dua hari raya untuk memakai pakaian terbaik yang bisa kami dapatkan, dan memakai wangi-wangian terbaik yang bisa kami dapatkan, dan menyembelih hewan qurban paling mahal yang bisa kami usahakan”(HR Abu Daud). Ternyata budaya di negeri kita terkadang jauh membedakan antara kedua hari raya tersebut. Banyak yang bersemangat dalam Ramadhan dan Idul Fitri, mengeluarkan dana yang sangat besar untuk keperluan dua momentum tersebut, namun begitu bertemu dengan Idul Adha tidak semua yang telah keluar banyak dana saat lebaran, mau merogoh kocek lagi lebih dalam untuk membeli kambing dan berqurban. Bisa jadi ini erat kaitannya juga terkait pandangan banyak orang bahwa ibadah ritual dan budaya Ramadhan Lebaran jauh lebih berkesan dan menarik dari pada ibadah Qurban yang lebih kental sebagai ibadah sosial, meskipun sejatinya juga masih erat terkait sisi ritual juga.
Dengan semua gambaran realita ini, tentu menjadi pertanyaan penting apakah gambaran yang ada di masyarakat kita itu sudah tepat atau perlu dikaji lebih mendalam. Contoh updatenya seperti saat ini Ramadhan di tengah pandemi Covid 19. Tentu banyak kaum muslimin yang semangat memperbanyak beribadah, dan bahkan juga meramaikan masjid meskipun sudah diingatkan oleh para ulama untuk beribadah di rumah saja. Sementara sisi yang lain, dampak ekonomi covid 19 ini sudah mulai merata, banyak masyarakat yang terkena dampaknya, membutuhkan uluran bantuan dari saudaranya kaum muslimin. Maka hal manakah yang lebih utama saat ini sejatinya ? apakah memperbanyak ibadah sunnah atau membantu mereka yang kesusahan, berbagai kebahagiaan dalam bentuk zakat, infak, dan semacamnya ? Mari kita coba kaji dari sisi dalil-dalil yang memiliki keterkaitan pembahasan seputar ibadah ritual dan ibadah sosial.
PERTAMA : BENTUK KEBAIKAN ITU BANYAK, BUKAN HANYA RITUAL SIMBOLIS SEMATA
Kita bisa mengambil pelajaran dari suatu ayat, tentang betapa luasnya peluang aneka ragam kebaikan, bukan hanya yang simbolis ritual semata. Allah SWT berfirman dalam Al-Quran : “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS Al Baqoroh 177)
Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, pakar fiqih dan tafsir negeri Suriah dalam Tafsir Wajiznya menuliskan tentang tafsir ayat ini : “ Ketahuilah wahai manusia bahwasannya kebaikan tidaklah dibatasi pada manusia yang sholat menghadap masyriq dan maghrib saja,akan tetapi disana banyak macam-macam kebaikan yang wajib dijaga”. Kemudian kita tahu setelahnya kita diberikan begitu banyak jenis peluang kebaikan, yang sebagian besar adalah berupa amal sosial yang akan membahagiakan orang lain, diantaranya : memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat.
KEDUA : AMALAN YANG PALING DICINTA ADALAH MEMBUAT BAHAGIA ORANG LAIN
Dari Ibnu ‘Umar ra, Rasulullah SAW bersabda : “Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling memberikan manfaat bagi manusia. Adapun amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah membuat muslim yang lain bahagia, mengangkat kesusahan dari orang lain, membayarkan utangnya atau menghilangkan rasa laparnya. Sungguh aku berjalan bersama saudaraku yang muslim untuk sebuah keperluan lebih aku cintai daripada beri’tikaf di masjid ini -masjid Nabawi- selama sebulan penuh.” (HR. Thabrani dihasankan oleh Syeikh Albani)
Hadits ini tergolong paling lengkap dan jelas dalam memberikan perbandingan antara keutamaan memperbanyak ibadah ritual, dengan menjalankan ibadah sosial. Bahkan disebutkan dengan jelas aneka bentuk amalan sosial yang membuat orang lain bahagia, seperti : mengangkat kesusahan orang lain, membayarkan hutangnya, dan menghilangkan rasa laparnya. Bahkan di akhir, memuat penegasan Rasulullah SAW bahwa beliau lebih memilih untuk menyelesaikan urusan saudaranya, dalam arti membantu mengatasi dan membahagiakannya, daripada beritikaf di masjid Nabawi selama satu bulan. Padahal sebagaimana kita pahami, bahwa kemuliaan beribadah di Masjid Nabawi juga sangat luar biasa, untuk sholat di dalamnya saja melebihi keutamaan sholat di masjid lain sebanyak 1000x lipat.
KETIGA : KEMUDAHAN UNTUK SEDEKAH ADALAH KEMULIAAN YANG DIRINDUKAN PARA AHLI IBADAH
Abu Hurairah RA meriwayatkan, bahwa orang-orang fakir Muhajirin mendatangi Rasulullah SAW lalu berkata, “Orang-orang kaya telah memborong derajat-derajat yang tinggi dan kenikmatan yang kekal!”. Maka beliau bertanya, “Apa itu?”. Mereka berkata, “Orang-orang kaya itu melakukan sholat sebagaimana kami melakukan sholat. Mereka melakukan puasa sebagaimana kami melakukan puasa. Mereka bershodaqah, tetapi kami tidak bershodaqah. Mereka memerdekakan budak, tetapi kami tidak memerdekakan budak”. Maka Rasulullah SAW, “Tidakkah aku ajarkan sesuatu kepada kamu, dengannya kamu akan menyusul orang-orang yang telah mendahului kamu, dan dengannya kamu akan mendahului orang-orang setelah kamu, dan tidak ada seorangpun yang lebih baik dari kamu kecuali orang-orang yang melakukan seperti apa yang kamu lakukan?”. Mereka menjawab, “Ya, wahai Rasûlullâh”. Beliau bersabda, “Kamu bertasbih, bertakbir, dan bertahmid tiga puluh tiga kali setelah setiap shalat”. Abu Shalih (seorang perawi hadits)berkata, “Kemudian orang-orang fakir Muhajirin kembali mendatangi Rasulullah SAW lalu berkata, “Saudara-saudara kami, orang-orang kaya, telah mendengar apa yang telah kami lakukan, lalu mereka melakukan seperti itu!”. Rasulullah SAW, “Itu adalah karunia Allâh yang Dia berikan kepada orang yang Dia kehendaki”. [HR. Muslim, no. 595]
Dari peristiwa yang tertuang dalam hadits di atas, kita bisa mengambil banyak pelajaran. Salah satunya, ketika kita mempunyai pilihan antara memperbanyak ibadah atau membahagiakan orang lain melalui sedekah, yakinlah bahwa kesempatan untuk bersedekah sesungguhnya adalah peluang berharga yang harus ditunaikan. Banyak mereka di luar sana yang hanya bisa beribadah semata, tapi sangat merindukan untuk bisa bersedekah. Maka apakah layak jika kita mempunyai kelapangan, lalu hari-hari ini kita menutup peluang itu dengan fokus memperbanyak ibadah ritual dengan alasan itu lebih utama? Sementara ternyata banyak sahabat-sahabat Rasulullah SAW yang mereka ahli ibadah, justru merindukan kesempatan untuk bersedekah. Mari kita bijak mengambil pelajaran mendalam dari sisi ini.
KEEMPAT : MEMBAHAGIAKAN ORANG LAIN DENGAN SEDEKAH BISA MENGALIRKAN PAHALA SEPANJANG MASA, IBADAH RITUAL SEBATAS APA YANG KITA LAKUKAN SEMATA
Usia manusia sangat terbatas, sementara amal yang diperbuat juga belum tentu mampu memperberat timbangannya sebagai syarat mendapatkan kebaikan akhirat. Sementara itu ketika ia mati, maka akan terputus kesempatannya untuk beramal. Karena itulah Rasulullah SAW mensifati orang yang berpikir tentang bagaimana setelah kematian, adakah termasuk orang yang cerdas. Beliau bersabda : "Orang cerdas adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah mati." (HR at-Tirmidzi).
Adapun peluang untuk kita mendapatkan kebaikan terus menerus telah dijelaskan oleh Rasulullah SAW, melalui haditsnya : “Jika anak keturunan Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya, kecuali tiga hal, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya, atau anak shalih yang senantiasa mendoakannya.” (HR. Muslim). Dari sini kita bisa sedikit membuat perbandingan, bahwa memperbanyak ibadah tentu akan bermanfaat sebatas orang tersebut masih mampu menjalankannya, selama dia masih hidup. Adapun membahagiakan orang lain khususnya dalam bentuk shodaqoh jariyah, tidak akan terhenti meski kematian datang menjelang, namun menjadi pahala yang terus mengalir sepanjang masa. Maka dari sisi kemanfaatan jika harus memilih, tentu sedekah jariyah lebih pantas untuk diutamakan dari pada memperbanyak ibadah yang sifatnya sunnah. Maka ini selaras dengan yang disampaikan Rasulullah SAW ia bersabda : Amal yang paling dicintai Allah SWT setelah yang wajib, adalah memasukkan kebahagiaan di hati seorang mukmin” (HR Thobroni dari Ibnu Abbas)
Mungkin karena sisi bahwa sedekah itu pahalanya mengalirkan sepanjang masa, maka sedekah termasuk menjadi amal yang bisa menjadikan kita menyesal saat hingga jelang kematian masih belum bisa mengoptimalkan dalam keseharian kita. Ini yang diisyaratkan dalam Al-Quran, dimana Allah SWT berfirman : “Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?" (QS Munafiqun 10)
KELIMA : DARI SISI HADITS YANG MENGANTARKAN SURGA KARENA BEBERAPA PAKET AMAL TERTENTU, MAYORITAS BERUPA AMAL SOSIAL
Banyak hadits-hadits berisi motivasi untuk mendapatkan surga, diantara hadits itu ada yang berisi motivasi akan satu amal, atau diantara lainnya berisi paket amalan yang terdiri dari tiga, empat atau lebih amal. Kita lihat diantaranya dua hadits berikut ini :
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : "Siapakah di antara kalian yang pagi ini sedang berpuasa?". Abu Bakar menjawab : "Aku." Beliau bertanya lagi: "Siapa di antara kalian yang hari ini telah mengantarkan jenazah?" Abu Bakar menjawab: "Aku." Beliau bertanya lagi: "Siapa di antara kalian yang hari ini telah memberi makan orang miskin?" Abu Bakar menjawab: "Aku." Beliau bertanya lagi: "Siapa di antara kalian yang hari ini telah menjenguk orang sakit?". Abu Bakar menjawab : "Aku." Selanjutnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidaklah semua itu ada pada seseorang kecuali dia pasti akan masuk surga." ( HR. Muslim )
Dari Abdulloh bin Salam, Rasulullah bersabda, “Wahai sekalian manusia, tebarkanlah salam di antara kalian, berilah makan sambunglah tali silaturahmi dan shalatlah ketika manusia tidur malam, niscaya kalian akan masuk surga dengan selamat.” (Shohih. Riwayat Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad)
Jika kita lihat lebih detil, dari beberapa paket amalan yang mengantarkan kita ke surga, ternyata mayoritas adalah berbentuk amal sosial, membahagiakan orang lain. Pada hadist yang pertama amal sosialnya adalah : menjenguk orang sakit, memberi makan orang miskin, dan mengantarkan jenazah, sementar ibadahnya adalah berpuasa sunnah. Dalam hadits kedua, amal sosialnya adalah : menyebarkan salam, memberikan makanan dan bersilaturahim, sementara amal ritual ibadahnya adalah mendirikan sholat sunnah qiyamul lail. Meskipun tidak bisa menjadi patokan, setidaknya dari dua hadits tersebut kita mendapatkan isyarat betapa banyak ragam jenis ibadah sosial, membahagiakan orang lain yang ternyata sangat berpotensi mengantarkan pada kebaikan di akhirat.
Akhirnya, meskipun tulisan ini bermaksud memberikan gambaran umum seputar manakah yang lebih utama antara memperbanyak ibadah sunnah, atau membahagiakan hati saudara muslim lainnya, namun yang tentu lebih utama dilakukan oleh seorang muslim adalah berusaha dengan optimal untuk menggabungkan setiap peluang kebaikan yang ada, baik ritual ibadah maupun ibadah sosial, tentu sesuai dengan kemampuan dan kondisi yang meliputi. Semoga Allah SWT berikan kita kekuatan untuk istiqomah hingga khusnul khotimah. Wallahu a’lam bishowab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar