Ada pertanyaan, bagaimana seorang yang berhaji tamattu’ dan tidak memiliki dana yang cukup untuk menyembelih hadyu, dan juga tidak mampu berpuasa karena alasan kesehatan. Berikut saya tuliskan pandangan beberapa ulama seputar hal ini.
Pertama : Fatwa Syeikh bin Baz
أنه ليس له أن يتساهل، بل عليه إما أن
يهدي إن قدر، أو يصوم، فإذا عجز عنهما؛ تبقى الفدية في ذمته حتى يتيسر له ذلك.
“hendaklah dalam masalah ini ia tidak
menggampangkan, maka wajib baginya menyembelih kambing hadyu jika mampu, atau
berpuasa jika mampu, jika tidak mampu keduanya maka ini tetap menjadi
tanggungannya sampai ia mendapati
kemudahan kondisi. (Misalnya ketika sudah punya uang, bisa menitipkan/
mewakilkan kepada mereka yang di Mekkah untuk membelikan kambing &
menyembelih hadyu, atau sudah kuat berpuasa maka berpuasa sesuai
kemampuan).
فإن مات ولم يتيسر له ذلك؛ قضي من
تركته إن كان له تركة، يشترى من تركته، ويفدى عنه؛ لأنه دين في ذمته. نعم.
Jika ia meninggal dalam belum juga mendapat
kemudahakan untuk menjalankannya, maka diqodho dari harta peninggalannya,
karena ini adalah utang dalam tanggungannya.
Kedua : Fatwa Nurun Ala Darb (Syeikh
Utsaimin)
والذي ينبغي للإنسان أن يسارع في إبراء
ذمته، وأن يقضي ما عليه
فقد ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم
أنه قال: «من مات وعليه صيام صام عنه
وليه»، فإذا صام عنها أحد أولادها، أو أبوها أو أمها، أو صمت عنها أنت، فإن ذلك
يكفي، وإن لم يصم منكم أحد فأطعموا عن كل يوم مسكيناً.
Hendaklah seorang bersegera dalam menebus
kewajibannya, atau mengqodho’ apa-apa yang menjadi tanggungannya. Kalau orang
sudah meninggal dan masih memiliki tanggungan puasa (baik puasa tamattu’ maupun
puasa ramadhan), maka telah jelas riwayat dari Nabi SAW beliau bersabda : Siapa
yang meninggal dan masih memiliki tanggungan puasa, maka walinya yang akan
berpuasa atas namanya”. Maka kalau salah satu anaknya, ayahnya, ibunya atau
suaminya berpuasa atas namanya, itu sudah mencukupi. Jika diantara mereka tidak
ada yang berpuasa atas nama almarhum, maka hendaklah diganti dengan memberi
makan satu orang miskin setiap harinya.
Ketiga :
Fatwa Lajnah Daimah ( Syeikh Sholih Fauzan)
وإذا لم يستطع الصوم فإن الفدية تبقى
في ذمته ولا يجزئ عنها الإطعام؛ لأن هذا لا دليل عليه ولا يصح القياس على العاجز
عن صيام رمضان عجزا مستمرا لاختلاف علة الحكمين.
Jika seorang yang haji tamattu’ tidak
mampu berpuasa, maka hal tersebut masih terus dalam tanggungannya, dan tidak
bisa digantikan dengan (fidyah) memberi makanan pada orang miskin, karena tidak
ada dalilnya dan tidak boleh diqiyaskan dengan orang yang tidak mampu puasa
ramadhan secara terus menerus, karena perbedaan ilat diantara keduanya.
Keempat :
Fatwa Al Azhar Asy Syarief (Syeikh Atiyah Saqor)
فإذا كان قادرًا على الصوم فلا يجوز له
الإطعام، كالقادر على صيام رمضان لا يجوز له أن يُطعم، أما إن كان عاجزًا عن الصوم
لكِبَرِ سن أو لمرض لا يُرجى برؤه، فيقاس على من عجز عن صيام رمضان، ويطعم عن كل
يوم مسكينًا،
Jika ia
mampu berpuasa maka tidak boleh diganti dengan ith’aam memberi makan pada orang
miskin, sebagaimana orang yang mampu berpuasa tidak boleh dia memilih fidyah. Adapun
jika ia tidak mampu berpuasa karena usia tua, atau sakit menahun yang tidak
sembuh-sembuh, maka diqiyaskan kepada mereka yang tidak mampu puasa ramadhan,
yaitu memberi makan satu orang miskin setiap harinya.
فإن
مات ولم يُطعم وكان قادرًا على الإطعام، وجب الإطعام من تركته؛ لأنه دَيْن يقدم
على الميراث. أما إذا لم يكن قادرًا على الإطعام فلا شيء عليه “لَا يُكَلِّفُ
اللهُ نَفْسًا إِلَّا وِسْعَهَا” ولا يلزم ورثته بشيء؛ لأنه مات فقيرًا ولا ميراث
له،
Jika ia
meninggal dan belum memberi makanan sementara ia mampu, maka wajib diambilkan
dari harta peninggalannya, karena itu termasuk hutang yang harus didahulukan
daripada warisan. Adapun jika memang ia tidak mampu memberikan makanan, maka
tidak ada kewajiban apapun baginya, karena Allah SWT tidak memberikan beban
kepada seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya. Dan ahli warisnya juga
tidak berkewajiban apapun, karena ia meninggal dalam kondisi miskin tanpa
meninggalkan warisan.
جاء في المغنى لابن قدامة “ج 3 ص 509”
ما نصه: ومن لزمه صوم التمتع فمات قبل أن يأتي به لعُذر منعه عن الصيام فلا شيء
عليه، وإن كان لغير عُذر أطعم عنه، كما يُطعم عن صوم أيام من رمضان، ولأنه صوم وجب
بأصل الشرع أشبه صوم رمضان.
Disebutkan dalam kitab Al Mugni, Ibnu
Qudamah menyebutkan : Siapa yang berkewajiban puasa tamattu’ kemudian dia
meninggal sebelum menjalankannya karena memiliki udzur yang membuatnya tidak
mampu berpuasa, maka tidak ada kewajiban apapun baginya.
Adapun jika ia tidak punya udzur maka
(ahli warisnya) memberikan makanan atas namanya , sebagaimana fidyah
menggantikan hari2 puasa Ramadan. Karena puasa tamattu adalah wajib secara
syariat, maka disamakan dengan puasa ramadhan.
Demikian pandangan ulama dengan beberapa perbedaan pandangan seputarnya. Adapun secara umum, jika sejak awal sebelum keberangkatan sudah diketahui bahwa seseorang tidak mampu berpuasa, maka tentu akan lebih baik jika dia tetap memilih haji tamattu’, agar mempersiapkan dana untuk menyembelih hadyu sejak sebelum keberangkatan atau jauh-jauh hari, bagian juga dari satu paket makna “isthithoah”, dan adapun jika memang sudah berusaha menyiapkan ternyata masih belum mampu, atau sudah menyiapkan tapi ditengah jalan ternyata uangnya hilang dan semacamnya, maka barulah ia bisa menjalankan langkah-langkah sebagaimana pendapat-pendapat ulama di atas seputar hal ini. Wallahu a’lam bisshowab.
Solo, 14 Maret 2023
Tidak ada komentar:
Posting Komentar